Tuesday 21 February 2017

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT



PEMBERDAYAAN  MASYARAKAT

A.    Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat
Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan penyuluhan adalah untuk memberdayakan masyarakat. Member-dayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam konsep pemberdayaan tersebut, terkandung pemahaman bahwa pemberdayaan tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan mandiri dalam pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejahteraannya sendiri.
Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam kesekuruhan proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain (penyuluh, LSM, dll).
Margono Slamet (2000) juga menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat, merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan, yaitu untuk mengembangkan sasaran menjadi sumber daya manusia yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, tidak tergantung pada “belas kasih” pihak lain.
Dengan penyuluhan pembangunan, masyarakat sasaran mendapatkan alternatif dan mampu serta memiliki kebebasan untuk memilih alternatif yang terbaik bagi dirinya. Penyuluhan sebagai proses pemberdayaan, akan menghasilkan masyarakat yang dinamis dan progesif secara berkelanjutan, sebab didasari oleh adanya motivasi instrinsik dan ekstrinsik dalam diri mereka.
Penyuluhan pembangunan sebagai proses pemberdayaan masyarakat memiliki tujuan utama yang tidak terbatas pada terciptanya “better farming, better business, dan better living, tetapi untuk memfasilitasi masyarakat (sasaran) untuk mengadopsi strategi produksi dan pemasaran agar mempercepat terjadinya perubahan-perubahan kondisi sosial, politik dan ekonomi sehingga mereka dapat (dalam jangka panjang) meningkatkan taraf hidup pribadi dan masyarakatnya (SDC, 1995).
Sedang tugas penyuluhan idak lagi terbatas untuk mengubah perilaku masyarakat-bawah sebagai sasaran utamanya, tetapi untuk meningkatkan interaksi anatar aktor-aktor (stakeholders) agar mereka mampu mengoptimalkan aksesibilitasnya dengan informasi agar mereka mampu meningkatkan situasi sosial dan ekonominya.
Penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyarakat , merupakan proses pemandirian masyarakat. Pemandirian bukanlah menggurui, dan juga bukan bersifat kariatip, melainkan mensyaratkan adanya peran-serta secara aktif dari semua pihak yang akan menerima manfaat, terutama dari kalangan kelompok sasaran itu sendiri. Mandiri bukan berarti “berdiri di atas kaki sendiri” dari “bantuan” pihak luar yang benar-benar diyakini akan memberikan manfaat. Sebaliknya, mandiri harus berani menolak inrvensi pihak luar yang (akan) merugikan atau menuntut korbanan lebih besar dibanding manfaat yang (akan) diterima.

B.     Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Istilah pemberdayaan masyarakat sebagai terjemahan dari “empowerment” mulai ramai digunakan dalam bahasa sehari-hari di Indonesia bersama-sama dengan istilah “pengentasan kemiskinan” (poverty alleviation) sejak digulirkannya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Sejak itu, istilah pemberdayaan dan pengentasan-kemiskinan merupakan “saudara kembar” yang selalu menjadi topik dan kata kunci dari upaya pembangunan.
Hal itu, tidak hanya berlaku di indonesia, bahkan Worlld Bank dalam Bulletinnya Vol. 11 No.4/Vol.2 No.1 October-Desember 2001 telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung tombak dari Strategi Trisula (three-pronged strategi) untuk memerangi kemiskinan yang dilaksanakan sejak memasuki dasawarsa 1990-an, yang terdiri dari: penggalakan peluang (promoting opportunity) fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowermwnt) dan peningkatan keamanan (enhancing security).
Menurut definisinya, oleh Mas’oed (1990), pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strengthening) kepada masyarakat. Sehubungan dengan pengertian ini, Sumodiningrat (1997) mengartikan keberdayaan masyarakat sebagai kemampuan individu  yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat dengan keberdayaan yang tinggi, adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai instrinsik yang juga menjadi sumber keberdayaan seperti sifat-sifat kekeluargaan, kegotong-royongan, dan (khusus bagi bangsa Indonesia) adalah keragaman atau kebhinekaan.
Keberdayaan masyarakat, adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mancapai tujuan-tujuannya. Karena itu, memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk (terus menerus) meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat “bawah” yang tidak mampu malepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat. Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin) untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat (accountable) demi perbaikan kehidupannya.
Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk mamberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice).
Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Dasar pemikiran suatu onyek atau target group perlu diberdayakan karena obyek tersebut mempunyai keterbatasan, ketidak berdayaan, keterbelakangan dan kebodohan dari berbagai aspek. Oleh karena guna mengupayakan kesetaraan serta untuk mengurangi kesenjangan diperlukan upaya merevitalisasi untuk mengoptimalkan utilitas melalui penambahan nilai. Penambahan nilai ini dapat mencakup pada ruang bidang aspek sosial, ekonomi, kesehatan, politik dan budaya.
Tentang hal ini, World Bank (2001) memberikan beberapa alternatif dalam fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowerment) yang dapat dilakukan pemerintah, melalui:
v  Basis politik dan hukum yang transparan, serta memberikan ruang gerak bagai demokratisasi dan pemantauan implementasi kegiatan.
v  Peningkatan pertumbuhan dan pemerataan administrasi publik yang bartanggung-gugat (accountability) dan responsif terhadap penggunanya.
v  Menggerakkan desentralisasi dan pengembangan-masyarakat yang memberikan kesempatan kepada “kelompok miskin” untuk melakukan kontrol terhadap semua bentuk layanan yang dilaksanakan. Desentralisasi itu sendiri harus mampu bekerjasama dengan mekanisme lain untuk menggerakkan partisipasi serta pemantauan lembaga pemerintah oleh setiap warga-negara.
v  Menggerakkan kesetaraan gender, baik dalam kegiatan ekonomi maupun dalam kelembagaan politik.
v  Memerangi hambatan-sosial (social barrier), terutama yang menyangkut bias-bias etnis, rasial, dan gender dalam penegakan hukum.
v  Mendukung modal-sosial yang dimiliki kelompok-miskin terutama dukungan terciptanya jejaring agar mereka keluar dari kemiskinannya.
Dalam hubungan ini, lembaga pemerintah perlu peningkatan aksesibilitas kelompok miskin terhadap:organisasi-perantara, pasar global, dan lembaga-lembaga publik.
Bentuk, jenis dan cara pemberdayaan masyarakat atau penguatan masyarakat (strengthening community) sangat beragam, yang hanya terwujud jika ada kemauan untuk mengubah struktur masyarakat (Adam Malik dalam Alfian, 1980). Karena itu, usaha untuk mengentaskan masyarakat dari lembah kemiskinan secara hakiki sama sulitnya dengan usaha memberdayakan mereka. Tugas itu bukanlah pekerjaan mudah yang bersifat instant (segera dapat dilihat hasilnya).
Pengalaman menunjukkan, upaya-upaya pengentasan kemiskinan seringkali manghadapi kendala-kendala yang sangat besar, yang berupa:
1)       Usaha-usaha untuk menghambat usaha-usaha untuk membela orang-kecil atau orang miskin, yaitu:
a.       lemahnya komitmen (khususnya) aparat pemerintah untuk memihak dan mebela orang miskin.
b.      rendahnya kepedulian untuk memperhatikan orang miskin.
c.       ketidak-mampuan memahami (kehidupan) orang miskin, terutama yang terkait dengan persepsi dan asumsi-asumsi tentang “karekteristik” orang miskin.
2)       Kendala yang ada di (lingkungan) orang miskin, yaitu:
a.       kendala fisik alamiah, yang menyangkut kondisi sumberdaya alam tempat mereka (orang miskin) tinggal, seperti:kesuburan lahan, rawan bencana-alam, dll.
b.      kendala struktural yang bersumber (terutama) pada struktur sosial dalam masyarakatnya; dan kendala-kultural yang (seolah-olah) menyerah terhadap nasib (Alfian, 1980).
c.       kendala sistematik dari kemiskinan, yaitu berlangsungnya suatu pola-pola (pengontrol) tertentu terhadap sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, yang disadari atau tidak, justru tidak selalu menguntungkan pihak-pihak yang telah berada pada posisi diuntungkan, seperti:
-          kebijakan swa-sembada pangan (beras)
-          kebijakan “pangan murah”
-          prioritas pembanguan perkotaan
-          dll


C.    Aspek-aspek Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagaimana telah tersirat dalam definisi yang diberikan, ditinjau dari lingkup dan obyek pemberdayaan mencakup beberapa aspek, yaitu:
1)      Peningkatan kepemilikan aset (sumberdaya fisik dan finansial) serta kemampuan (secara individual dan kelompok) untuk memanfaatkan aset tersebut demi perbaikan kehidupan mereka.
2)      Hubungan antar individu dan kelompoknya, kaitannya dengan pemilikan aset dan kemampuan memanfaatkannya.
3)      Pemberdayaan dan reformasi kelembagaan.
4)      Pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, baik di tingkat lokal, regional, maupun global.

D.    Unsur-unsur Pemberdayaan Masyarakat
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan sedikitnya 4 (empat) unsur pokok, yaitu:
1)      Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru kaitannya dengan: peluang, layanan, penegakan hukum, efektivitas negosiasi dan akuntabilitas.
2)      Keterlibatan atau partisipasi yang menyangkut siapa yang dilibatkan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan.
3)      Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan mengatas-namakan rakyat.
4)      Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan bekerjasama, mengorganisir warga masyarakat, serta mobilisasi sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.

E.     Syarat Tercapainya Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu:
1)      Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik tolaknya adalah, pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakatnya memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan.
2)      Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mandorong, memberikan motivasi dan mebangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk engembangkannya.
3)      Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin dalam berdaya memanfaatkan peluang.
Memberdayakan mengandung pula arti melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah agar tidak bertambah lemah. Karena itu, diperlukan strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional (Sumodiningrat, 1995).
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikut-sertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebutuhan masyarakatnya.

F.     Penguatan Kapasitas Masyarakat
Penguatan kapasitas adalah proses peningkatan kemampuan individu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan.

Dalam pengertian tersebut, terkandung pemahaman bahwa:
1)      Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan (individu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain) untuk menunjukkan/memerankan fungsinya secara efektif, efesien dan berkelanjutan.
2)      Kapasitas bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan proses yang berkelanjutan.
3)      Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia merupakan pusat pengembangan kapasitas.
4)      Yang dimaksud dengan kelembagaan, tidak terbatas dalam arti sempit (kelompok, perkumpulan atau organisasi), tetapi juga dalam arti luas, menyangkut perilaku, nilai-nilai dll.
Penguatan kapasitas untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat tersebut, mencakup penguatan kapasitas setiap individu (warga masyarakat), kapasitas kelembagaan (organisasi dan nilai-nilai perilaku), dan kapasitas jejaring (networking) dengan lembaga lain dan interaksi dengan sistem yang lebih luas.
Sejalan dengan pemahaman tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikutsertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebutuhan masyarakatnya.

G.    Obyek Pemberdayaan Masyarakat
Obyek atau target sasaran pemberdayaan dapat diarahkan pada manusia (human) dan wilayah/kawasan tertentu. Pemberdayaan yang diarahkan pada manusia dimaksudkan untuk menaikkan martabatnya sebagai makhluk sosial yang berbudaya dan meningkatkan derajat kesehatannya agar mereka dapat hidup secara lebih produktif. Upaya ini dilakukan melalui serangkaian program penguatan kapasitas.
Dalam kerangka perencanaan, penentuan kelompok sasaran pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pendekatan umum (universal) dan pendekatan khusus (ideal). Dalam pendekatan universal, pemberdayaan diberikan kepada semua masyarakat. Keuntungan dari pendekatan ini mudah untuk diterapkan, namun kejelekan pendekatan ini adalah adanya disparitas atau kesenjangan pemahaman yang cukup tinggi. Sedangkan pendekatan ideal, menekankan bahwa pola pemberdayaan yang sesuai dengan klasifikasi strata masyarakat.
Syarat yang harus dipenuhi adalah kelengkapan indikator dan kejelasan mengenai kriteria materi pemberdayaan.

H.    Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Indikator keberhasilan yang diakai untuk mengukur pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat mencakup:
1)      Jumlah warga yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam tiap kegiatan yang dilaksanakan.
2)      Frekuensi kehadiran tiap-tiap warga pada pelaksanaan tiap jenis kegiatan.
3)      Tingkat kemudahan penyelenggaraan program untuk memperoleh pertimbangan atau persetujuan warga atas ide baru yang dikemukakan.
4)      Jumlah dan jenis ide yang dikemukakan oleh masyarakat yang ditujukan untuk kelancaran pelaksanaan program.
5)      Jumlah dana yang dapat digali dari masyarakat untuk menunjang pelaksanaan program kegiatan.
6)      Intensitas kegiatan petugas dalam pengendalian masalah.
7)      Meningkatkan kapasitas skala partisipasi masyarakat.
8)      Berkurangnya masyarakat yang menderita.
9)      Meningkatnya kepedulian dan respon terhadap perlunya peningkatan mutu hidup.
10)  Meningkatkan kemandirian masyarakat.

I.       Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pemberdayaan pada dasarnya mempunyai tiga arah. Pertama. pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial ekonomi, budaya dan politik yang bersumber pada partisipasi masyarakat.

PEMBANGUNAN DESA, PENGEMBANGAN MASYARAKAT DAN KENDALANYA

A.    Pembangunan Desa dan Pengembangan Masyarakat
Upaya pengembangan masyarakat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keadaan politis dan pemerintahan di Indonesia sendiri. Pola pengembangan masyarakat di Indonesia secara umum dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri, sedangkan secara sektoral dikembangkan oleh beberapa departemen dan lembaga pemerintah non departental, serta lembaga-lembaga non pemerintah. Di Indonesia, pola pengembangan masyarakat, dalam kerangka Departemen Dalam Negeri, dimasukkan dalam Pengembangan Masyarakat Desa.
Pengembangan masyarakat di Indonesia lebih ditekankan pada desa, antara lain karena lebih dari 2/3 penduduk Indonesia berada di daerah pedesaan (baik rurak village maupun urban village). Disamping itu, bila dilihat dari sisi sejarah, terlihat perbedaan pandangan dalam melihat desa antara Indonesia dengan beberapa negara maju. Bila pada beberapa negara ‘maju’ desa hanya merupakan garis belakang (hinterland) yang memberi dukungan pada kota, di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu desa menjadi titik sentral kehidupan negara. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan-perjuangan yang selalu didukung oleh daerah pedesaan ataupun berbasiskan di suatu pedesaan (seperti perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, dan lain sebagainya, bahkan sampai perang gerilya untuk mamperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan). Di sektor ekonomi, wilayah pedesaan di Indonesia juga menjadi sumber kehidupan karena indonesia adalah negara agraris. Oleh karena itu, pembangunan di Indonesia akan kurang mempunyai arti bial tidak dilakukan pembangunan masyarakat desa. Pemilihan pembangunan masyarakat desa sebagai titik sentral pengembangan masyarakat di Indonesia juga dilakukan, karena disadari masih cukup banyak desa yang belum dikembangkan secara optimal.
“Pembangunan Masyarakat Desa” yang sekarang disebut juga dengan nama “Pemberdayan Masyarakat Desa”, pada dsarnya, serupa dan setara dengan konsep Pengembangan Masyarakat (community development = CD). Menurut Schlippe pada mulanya teori tentang pembangunan masyarakat desa ini tidak ada. Perkembangan teori pembangunan desa dimulai dari praktek, yaitu dari kebutuhan yang disarankan di dalam masyarakat terutama dalam situasi sosial yang dihadapi didalam negara-negara yang  menghadapi perubahan sosial yang dihadapi didalam negara-negara yang menghadapi perubahan sosial yang cepat.
Secara teoritis, agar suatu desa berkembang dengan baik, maka terdapat tiga unsur yang merupakan suatu kesatuan, yaitu: (1) desa (dalam bentuk wadah); (2) masyarakat desa; dan (3) pemerintahan desa. Masyarakat desa, adalah penduduk yang merupakan kesatuan masyarakat yang tinggal pada unit pemerintah terendah langsung di bawah Camat. Sedangkan Pemerintahan Desa, adalah kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan yang terendah langsung di bawah Kepala Desa.
Di dalam UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah ditetapkan bahwa:
1.      Desa, adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemeruntahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganyasendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut pasal 3 UU No.5 tahun 1979 disebutkan bahwa pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa yang dlaam pelaksanaan tugasnya Pemerintah Desa dibantu oleh perangkat desa, yang terdiri dari Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Dusun.
2.      Kelurahan, adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Sedangkan menurut pasal 23 UU No.5 tahun 1979, pemerintahan kelurahan terdiri dari Kepala Kelurahan dan perangkat Kelurahan yang terdiri dari Sekretariat Kelurahan dan Kepala-kepala Lingkungan.
Dalam perkembangannya desa-desa ini telah menjurus kearah dua (2) kategori, yaitu Desa dan Kelurahan. Desa dibentuk dengan mamperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan kelurahan dapat dibentuk di ibukota Negara, ibukota Propinsi, ibukota Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif, dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pendekatan Pembangunan Masyarakat Desa  dipilih sebagai salah satu pendekatan dalam pembnguanan nasional antara lain karena melalui pembangunan desa tersebut tercermin penerapan nilai-nilai demokrasi, dimana secara toritis tercermin keterpaduan antara perencanaan dari ‘atas’ ke ‘bawah’ (perencanaan dari pusat yang mencerminkan nilai-nilai nasional) dan perncanaan dari ‘bawah’ ke ‘atas’ yaitu melalui Lembaga Musyawarah Desa ataupun usulan-usulan dari kelurahan sebagai hasil musyawarah yang didasarkan atas evaluasi hasil pembangunan sebelumnya ataupun kebutuhan yang ada, dan dapat pula karena adanya permasalahan barru yang mereka hadapi.
Partisipasi aktif masyarakat dalma pelaksaan program pembangunan memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama. Strategi yang biasa diterapkan adalah melalui strategi ‘penyadaran’. untuk berhasilnya program pembangunan desa tersebut, warga masyarakat dituntut untuk terlibat tidak hanya dalam aspek kognitif dan praktis, tetapi juga ada keterlibatan emosional pada program pembangunan desa tersebut, warga masyarakat dituntut untuk terlibat tidak hanya dalam aspek kognitif dan praktis, tetapi juag ada keterlibatan emosional pada program tersebut. Hal ini diharapakan dapat memberi kekuatan dari perasaan untuk ikut serta dalam gerakan perubahan yang mencakup sekuruh bangsa untuk itu para pimpinan harus meyebarluaskan kebijakan pembangunan desa, dan secara aktif mengidentifikasi diri dengan kebijakan tersebut.
Peranan pemerintah di sisni adalah merencanakan dan mengorganisir program pada tingkat nasional sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan. Disamping itu pemerintah perlu menyediakan bantuan tehnis dan bantuan bahan-bahan pokok, diluar kemampuan masyarakat setempat dan organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya.
Terkait dengan hal di atas, maka partisipasi masyarakat menjadi elemen yang penting dalam pengembangan masyarakatdesa. Pusic mengemukakan bahwa perencanaan tanpa perhitungan partisipasi masyarakt akan merupakan perencanaan di atas kertas. Berdasarkan pandangannya, partisipasi masyarakat akan merupakan perencanaan di atas kertas. Berdasarkan pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan desa dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
1.      Partisipasi dalam perencanaan.
2.      partisipasi dalam pelaksanaan.
Dimana keduanya mempunyai segi positif dan negatifnya.
1.      Partisipasi dalam Perencanaan.
Segi positif dari partisipasi dalam perencanaan adalah dapat mendorong munculnya keterlibatan secara e,osional terhadap program-program pembangunan desa yang telah direncanakan bersama. Sedangkan segi negatifnya adalah adanya kemungkinan tidak dapat dihindarinya pertentangan antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan manghambat tercapainya suatu keputusan bersama.
Disini dapat ditambahkan bahwa partisipasi secara langsung dalam perencanaan hanya dapat dilaksanakan dalam msyarakat kecil, sedangkan untuk masyarakat yang besar sukar dilakukan. Namun dapat dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Masalah yang perlu dikaji adalah, apakah mereka yang duduk dalam perwakilan benar-benar mewakili warga masyarakatnya.
2.       Partisipasi dalam Pelaksanaan.
Segi positif dari partisipasi dalam pelaksanaan adalah bahwa bagian tersebar dari suatu program (tentang penilaian kebutuhan dan perencanaan program) telah selesai dikerjakan. Tetapi segi negatifnya adalah kecenderungan menjadikan warga masyarakat sebagai obyek pembangunan, dimana warga hanya dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi, dan tanpa ditimbulkan keinginan untuk mengatasi masalahnya. Sehingga warga masyarakat tidak secara emosional terlibat dalam program, yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat dihindari.
Dalam perkembangan pemikiran mengenai partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas, maka keterlibatan masyarakat tidak saja dilihat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan saja tetapi sudah meluas hingga tahap assessment dan evaluasi. Sehingga tahap dimana keikutsertaan masyarakat diharapkan mulai terlihat dalam suatu pendekatan non-direktif dapat dideteksi pada:
1.      Tahap assessment
2.      Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan;
3.      Tahap pelaksanaan (implementasi) program atau kegiatan ataupun pada
4.      Tahap Evaluasi (termasuk di dalamnya evaluasi input, proses dan hasil).
Berdasarkan hal di atas maka terlihat bahwa dengan pendekatan konsensus dari pengembangan masyarakat, proses pemberdayaan yang dilakukan adalah dalam upaya membuat masyarakat manjadi lebih ‘pandai’ terutama dalam kaitan dengan penanganan maslah-masalah yang muncul di masyarakat.
Sedangkan bila dilihat dari kerangka dasarnya, secara sederhana akan tergambar bahwa mekanisme pembangunan desa di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu proses perpaduan antara (1) kelompok kegiatan utama, yaitu berbagai kegiatan pemerintah di satu pihak dan (2) kegiatan partisipasi masyarakat dilain pihak. Kegiatan pemerintah dilaksanakan melalui program-program sektoral dari berbagai departemen dan lembaga non departemen. Pemerintah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku berkewajiban untuk memberikan bimbingan, pengarahan, pembinaan dan bantuan dalam batas-batas kemampuan yang tersedia, disertai pengawasan yang intensif. Di sisi yang lain kegiatan partisipasi masyarakat tidk jarang banyak di dukung ataupun digerakkan oleh organisasi non pemerintah, yang pada titik tertentu sangat memerlukan dukungan dari pemerintah dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
Dalam upaya pengembangan masyarakat di tingkat lokal, baik organisasi pemerintah maupun non pemerintah, biasnya dibantu oleh tenaga kader (indegenous woeker). Kader diharapkan dapat menggantikan peranan petugas pembangunan desa dalam melanjutkan kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Kader adalah orang-orang yang bersal dari masyarakat setempat yang dengan sukarela bersedia ikut serta dalam pelaksanaan berbagai kegiatan dalam program pembangunan desa. Kader dapat terdiri dari wanita atau pria, tua maupun muda, sudah bekerja ataupun belum bekerja, yang penting mereka merasa terpanggil, ada kesediaan dan kesadaran untuk ikut bertanggung jawab dalam usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilingkungannya.
Kader dapat melaksanakan kegiatan di bidang pertanian; peternakan; kesehatan; pendidikan; dan lain-lain, setelah memperoleh latihan secukupnya, tugas seorang kader pada intinya adalah:
1.      Sebagai pelopor dalam melaksanakan kegiatan.
2.      Pelaksana dan pemelihara kegiatan program pembangunan desa.
3.      Menjaga terjadinya kelangsungan kegiatan.
4.      Membantu dan menghubungkan antara warga masyarakat dengan lembag-lembaga yang bekerja dalam bidang pembangunan desa.
Untuk memperoleh kader pembangunan yang mantap, tekanan utam diberikan pada motivasi calon untuk ikut serta dalam program sebagai kader. Dalam hal ini ditekankan pada kesadaran diri, merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu untuk masyarakatnya dan mempunyai jiwa suka memberikan bantuan (pelayanan) terhadap sesama. Niat ataupun motivasi dasar masing-masing individu untuk manjadi kader biasanya juga mempengaruhi kinerjanya dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Misalnya saja sebagai suatu contoh yang agak mensederhanakan, seorang kader yang terlibat karena kebetulan mempunyai waktu luang dan ingin mengisi waktu luangnya sebelum ia mendapatkan pekerjaan (alasan ekonomi), biasanya mempunyai semangat yang berbeda dengan seorang kader yang mempunyai dorongan untuk menjadi kader karena ingin mendekatkan diri pada Tuhannya (alasan religius). Pada kader yang berlandaskan diri pada alasan ekonomis, biasanya mereka cenderung untuk memilih pekerjaan yang lebih menghasilkan uang atau bila ia sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap maka ia akan mengundurkan diri untuk menjadi kader. Sedangkan untuk kader yang mempunyai dorongan religius dalam melakukan tindakan, maka unsur material menjadi nomor dua dalam upaya memberikan bantuan terhadap masyarakat.
Kader yang dipilih dalam suatu masyarakat dapat terdiri dari pemuda yang belum berkeluarga, pamong desa ataupun orang-orang yang sudah mempunyai pekerjaan tetap. Agar dapt dukungan dari masyarakat dan berhasil dalam kegaitannya, perlu diperhatikan status sosial kader. Yang menguntungkan adalah bila kader mampunyai prestasi yang baik, mempunyai kepribadian yang baik, berasal dari keluarga yang terpandang didalam masyarakatnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah alangkah baiknya bila kader juga mempunyai akar dalam masyarakatnya, sehingga apa yang dikatakan atau dilakukannya dapat ditiru atau diikuti oleh anggota kelompoknya.
Permasalahan kader pada umumnya adalah, karena kader merupakan tenag sukarela yang tidak jarang juga sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, maka kalau tugas utamanya menuntut keaktifannya, mereka akan mengesampingkan atau bahkan mengabaikan tugas mereka sebagai kader. Terkait dengan hal ini, perekrutan kader dari generasi muda yang masih mempunyai idealisme seringkali lebih menguntungkan dibandingkan memanfaatkan pemuda yang sedang menganggur dan tidak mempunyai gambaran hidup yang jelas. Meskipun demikian, pada kasus-kasus tertentu, pemilihan tenaga kader dari pemuda yang ‘menganggur’ ataupun ‘preman’ kadangkala menguntungkan bila kita ingin merubah kelompok sasaran yang lebih banyak bergerak di dunia yang ‘abu-abu’ atau dunia yang gelap. Pemilihan tenaga kader dari kelompok mereka tidak jarang dapat mempermudah upaya perubahan ke arah yang lebih positif.
Masalah lain yang dihadapi seorang kader adalah beban yang diberikan pada kader seringkali terlalu berat bagi jenis pekerjaan yang bersifat sukarela. Karena seorang kader seringkali diharuskan berperan dibidang-bidang yang diluar kemampuannya, atau bergerak dalam bidang kemampuannya tetapi tugasnya melebihi batas kemampuannya. Karena itu, penambahan kader dan peningkatan pengetahuan serta keterampilannya perlu dilakukan secara berkelanjuatn dan berjenjang. Dalam kaitan dengan hal ini, pengembangan kemampuan dan keterampilan (capacity building) para kader yang merupakan modal sosial (social capital) dalam suatu komuitas perlu direncankan secara bertahap. Apalagi bila seorang community worker melihat proses pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses yang berkesinambungan (on-going process).
Dalam kaitan dengan pernyataan tersebut (proses pemberdayaan masyarakat suatu proses yang berkesinambungan) harus dilihat dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu proses, dan bukannya dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu program. Sebagai suatu program, program pemberdayaan masyarakat dapat saja berhenti karena batas waktu yang sudah selesai (terminasi karena keterbatasan dana). untuk melihat apa yang dimaksud dengan Pemberdayaan sebagai ongoing process, mungkin dapat dilihat apa yang sikemukakan oleh Hogan (200:h.13) yang mengutip dari pandangan Rotter (1966), Selignan (1975) dan Hopson dan Scally (1995) yang melihat proses pemberdayaan individu sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia individu tersebut (ongoing process) yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja (empowerment is not an end-state, but a process that all human beings experience). Hogan (200:h.20) menggambarkan proses pemberdayaan yang berkesinambungan sebagai suatu siklus yang terdiri dari lima (5) tahapan utama yaitu:
1.        Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan (recall depowering/empowering experiences);
2.        Mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan pentidakberdayaan (disciss reasons for depowerment/empowerment);
3.        Mengidentifikasi suatu masalah ataupun proyek (identify one problem or project)
4.        Mengidentifikasi basis daya yang bermakna (identify useful power bases); dan
5.        Mengembangkan rencan-rencana aksi dan mengimplementasikannya (develop and implement action plans).
Setelah itu siklus berlanjut ke tahapan pertama (no.1) dan bergulir kembali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema dibawah ini:
Siklus Pemberdayaan
(Sumber:Hogan,2000:h.20)
Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan
 
 





 
Mengembangkan rencana aksi dan mengimplementasikannya
 
Mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan pentidakberdayaan
 
Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna
 
Mengidentifikasikan suatu masalah ataupun proyek
 
 















Dari siklus diatas maka akan tergambar mengapa Hogan, meyakini bahwa proses pemberdayaan yang terjadi pada tingkat individu, organisasi dan komunitas bukanlah suatu proses yang berhenti pada suatu titik tertentu. Tetapi lebih merupakan sebagai upaya berkesinambungan untuk meningkatkan daya yang ada. Dalam konteks kesejahteraan sosial, upaya pemberdayaan ini tentunya juga terkait dengan upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ketingkatan yang lebih baik. Tentunya dengan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan suatu komunitas menjadi kurang berdaya (depowerment).

B.     Kendala-Kendala dalam Proses Pengembangan Masyarakat.
Meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam penerapannya memang disadari bahwa tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Kadangkala, dan tidak jarang, ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap ‘pembaharuan’ ataupun inovasi yang muncul. Watson, dalam buku Planning or Change edisi ke dua, menggambarkan ada beberapa kendala (hambatan) yang dapat menghalangi terjadinya suatu perubahan (pembangunan). Hal ini tentunya akan terkait dengan kendala dalam upaya pemberdayaan melalui intervensi komuntas. Kendala-kendala di bawah adalah materi yang dituliskan Watson dalam bukunya:
1.      Kendala yang berasal dari kepribadian Individu.
a.      Kestabilan (Homeostatis).
Homeostatis, seperti yang dikemukakan oleh Cannon (1932), merupakan dorongan internal individu yang berfungsi untuk menstabilakan (stabilizing forces) dorongan-dorongan dari luar. Tubuh manusia mempunyai mekanisme untuk mengatur perubahan fisiologis, seperti temperatur, kadar gula dan lain sebagainya. Beberapa tahun sebelumnya Raup (1925), menggambarkan disamping kemampuan mengadaptasi perubahan fisiologis, manusia juga mempunyai kemampuan untuk mangadaptasi perubahan psikologis dalam batas tertentu. Terkait dengan hal ini, suatu proses pelatihan yang diberikan dalam waktu relatif singkat belum tentu dapat membuat perubahan yang permanen pada diri individu, bila tidak diikuti dengan penguatan yang relatif terus-menerus dari sistem yang melingupinya (tidak diikuti program lanjutan untuk menstabilkan hasil latihan).
Misalnya saja, perilaku mahasiswa yang baru saja mengikutisensitivity training (pelatihan untuk meningkatkan kepekaan individu) cenderung akan lebih terbuka dan mau menerima masukan (receptive) dari rekan-rekannya. Tetapi setelah beberapa bulan kemudian, dorongan yang didapat melalui sensitivity training tersebut melmah, dan dorongan ‘asal’ kembali muncul sehingga ia kurang receptive lagi. Dari hal tersebut, dapat terlihat bahwa dorongan yang sudah stabil didalam diri seseorang (homeostatis) dapat menghambat perubahan yang telah direncanakan. Hal ini perlu oleh community worker,terutama bila ia hanya mengembangkan pelatihan yang bersifat sesaat dan tidak berkelanjutan.
b.      Kebiasaan (Habit).
      Disamping homeostatis, konsep atau faktor lain yang dapat menghambat suatu perubahan adalah faktor kabiasaan. Sebagian besar pakar dari teori belajar (learning theory) mempunyai asumsi bahwa bila tidak ada perubahan situasi yang tak terduga, maka setiap individu pada umumnya akan bereaksi sesuai dengan kebiasaannya. Alport (1937) memperkenalkan istilah ‘otonomi fungsional’ (functional autonomy) untuk manggambarkan fakta yang terjadi bahwa aktivitas ataupun tindakan yang dilakukan seseorang sebagai suatu cara untuk mencapai suatu kepuasan seringkali, secara instrinsik diterima sebagai suatu tindakan yang sebaiknya ia lakukan. Misalnya saja, kebiasaan merokok, kebiasaan makan malam lebih banyak dari makan pagi, dan lain sebagainya.
       Pada satu sisi, kebiasaan dapat membantu community worker untuk mengembangkan rencana perubahan. Tetapi, pada sisi yang lain, kebiasaan dapat menjadi faktor penghambat. Misalnya saja, bila seorang community worker ingin mengembangkan pola hidup sehat pada komunitas di pemukiman kumuh, antara lain, membiasakan buang air besar di WC; membiasakan menggunakan air bersih untuk memasak; membiasakan untuk tidak jajan sembarangan. Padahal di pemukiman tersebut, nilai individual yang ada pada umumnya menganggap bahwa buang air besar dikali ataupun di selokan depan rumah; menggunakan air apa adanya; dan jaajn di sembarangan tempat (tanpa memperdulikan kebersihan) adalah hal biasa, serta mereka biasa melakukannya. Bila hal ini terjadi maka kebiasaan yang ada pada individu dapat menjadi faktor penghambat terjadinya suatu perubahan.
c.       Hal yang Utama (Primacy)
Hal yang utama (Primacy) yang dimaksudkan di sini adalah hal-hal yang berhasil mendatangkan hasil yang memuaskan. Bila tindakan yang pertama dilakukan seseorang mendatangkan hasil yang memuaskan ketika menghadapi suatu situasi tertentu, maka ia cenderung mengulangi pada saat yang lain (ketika menghadapi situasi yang sama). Hali ini juga dapat menghambat terjadinya perubahan, apalagi bila tindakan tersebut sudah begitu terpola pada individu tersebut. Misalkan saja, orang yang sudah menganggap obat ‘X’ sebagai obat yang cocok untuk meredakan rasa pusing yang diderita, cenderung menggunakan obat tersebut ketika ia menderita pusing. Bila ia disarankan untuk beristirahat saja dan tidak menggunakan obat ‘X’ misalkan karena obat tersebut merupakan salah satu obat penenang, maka ia cenderung untuk menolak informasi tersebut.
d.      Seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention).
Bila sikap seseorang terhadap obyek sikap sudah terbentuk, maka tindakan yang dilakukannya di saat-saat yang berikutnya akan disesuaikan dengan ‘objek sikap’ yang ia jumpai. Misalnya saja, bila X menganggap bahwa orang batak itu orang yang kasar dan suka berterus terang, sedangkan orang jawa itu orang yang tutur katanya halus tetapi ‘berbelit-belit’ jalan pemikirannya, maka bila X berjumpa dengan orang batak (‘objek sikap’ pertama) ia akan memberikan respon yang berbeda bila dibandingkan ia berbicara dengan orang jawa. Dalam hal ini, stereotip (stereotype) mengenai orang batak dan jawa yang diketahui oleh X menentukan cara X bertindak.
Keadaan di atas merupakan salah satu bentuk penyelesaian persepsi yang diterima oleh individu (X mempersiapkan orang batak berbeda dengan orang jawa disesuaikan dengan dasar pengalamannya), disatu sisi penyeleksian persepsi yang ada dapat mengambil keputusan. Tetapi, di sisi yang lain penyeleksian ini dapat pula menghambat perubahan yang akan terjadi. Misalnya saja, bila seseorang merasa antipati terhadap salah satu pembimbing keterampilan yang berasal dari suku tertentu hanya berdasarkan stereotip yang ia kembangkan sebelumnya tanpa memperhatikan kemampuan dari pembimbing keterampilan tersebut. Padahal tenaga pembimbing tersebut merupakan salah satu yang terbaik dalam bidangnya. Hal ini tentu akan dapat berakibat kurang baik bila tidak dicarikan jalan penyelesaiannya.
e.       Ketergantungan (Dependence).
Ketergantungan seseorang terhadap orang yang lebih dewasa dapat pula menjadi faktor yang menghambat terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat. Ketergantungan seseorang terhadap orang yang lebih dewasa sudah dimulai sejak masa kanak-kanak. Tetapi, sejalan dengan bertambahnya usia maka tingkat ketergantungan terhadap orang yang lebih tua dapat semakin ‘diperkecil’, sehingga pada akhirnya dapat dicapai ‘kemandirian’ baik dalam aspek psiko-sosial maupun finansial. Bila dalam suatu kelompok masyarakat terlalu banyak orang yang mempunyai ketergantungan terhadap orang lain maka proses ‘pemandirian’ masyarakat tersebut dapat menjadi lebih lama dari waktu yang diperkirakan.
f.        Superego.
Superego yang terlalu ‘kuat’ cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan dan kadangkala mengangggap pembaharuan sebagai sautu hal yang tabu. Dorongan superego yang berlebihan ini menimbulkan kepatuhan yang berlebihan pula, karena dorongan dari ld lebih sering teredam dan tak tersalurkan. Padahal keberadaan id sendiri, dalam sisi yang positif adalah memunculkan kainginan seseorang untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dengan cara yang lebih sederhana (hal ini sesuai dengan pleasure principle dari id itu sendiri). Keadaan seperti inilah yang dapat menyebabkan terhambatnya suatu inovasi yang akan diperkenalkan oleh community worker terhadap masyarakat tersebut.
g.      Rasa Tidak Percaya Diri (Self-Distrust).
Rasa tidak percaya diri menurut Watson dapat merupakan konsekuensi dari ketergantungan pada masa kanak-kanak yang berlebihan, serta dorongan dari superego yang terlalu kuat sehingga ia merasa perlu menghindari dorongan yang datang dari dirinya sendiri, dengan menyatakan “rasanya apa yang saya inginkan ini bukan merupakan hal yang patut untuk dilakukan”. Rasa tidak (kurang) percaya diri ini bila terus berlanjut sampai seseorang menginjak usia dewasa pada akhirnya dapat mempengaruhi keterampilan dan kinerjanya.
h.      Rasa Tidak Aman dan Regresi (Insecurity and Regression).
Faktor lain yang lebih bersifat individual yang dapat menghambat partisipasi yang efektif adalah kecenderungan untuk mencari ‘rasa aman’ yang ia peroleh di masa lalu. Masa kanak-kanak bagi mereka seperti ‘sorga’ yang hilang, sehingga mereka mencoba mencarinya di masa kini. Orang-orang ini cenderung bernostalgia untuk mencari masa bahagia yang pernah dulu ia alami. Kenyataan akan rasa tidak aman di masa kini ini juga cenderung diikuti oleh terjadinya regresi pada individu tersebut, dan cenderung selalu merasa kecewa dengan keadaan saat ini. Meskipun mereka cenderung merasa tidak senang dengan keadaan saat ini, Watson melihat bahwa, mereka merasa bahwa perubahan yang akan terjadi justru akan dapat meningkatkan ‘kecemasan dan ketakutan’ (anxiety) mereka. Berdasarkan hal ini mereka menjadi pihak yang kecenderungan untuk menolak pembaharuan yang berbeda dengan ‘masa keemasan’ (masa kanak-kanak) mereka.
2.      Kendala yang berasal dari sistem Sosial.
a.      Kesepakatan terhadap norma tertntu (Conformity to Norms).
Norma dalam suatu sistem sosial berkaitan erat dengan kebiasaan dari kelompok masyarakat tersebut. Norma sebagai suatu aturan yang tidak tertulis ‘mengikat’sebagian besar anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu. Pada titik tertentu, norma dapat menjadi faktor yang menghambat ataupun halangan terhadap perubahan (pembaharuan) yang ingin diwujudkan. Pada kelompok masyarakat yang mempunyai norma yang mendukung untuk berjudi, minum-minuman keras, serta menjual obat terlarang maka dapat dibayangkan betapa sulitnya community worker membantu merubah masyarakat tersebut untuk menjadi masyarakat yang sehat bukan saja dari segi fisik tetapi juga sehat rohani. Untuk beberapa komunitas dipemukiman kumuh, dapat terlihat pula bahwa norma masyarakat mendukung kebiasaan masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, norma masyarakat bukan menjadi faktor pendukung suatu inovasi ke arah yang lebih baik, tetapi lebih berupa faktor penghambat pembaharuan. Karena orang-orang yang ingin melakukan pembaharuan tidak jarang dianggap sebagai orang yang melakukan ‘penyimpangan’. Dalam keadaan seperti ini, nilai-nilai baru lebih baik diperkebalkan melalui kelompok-kelompok dan bukan melalui orang perorang saja.
b.      Kesatuan dan Kepaduan Sistem dan Budaya (Systemic and Cultural Coherence).
Seperti apa yang pernah dipahami sebagai prinsip dasar dalam Gestalt dimana “setiap bagian dari suatu bentuk tertentu mempunyai karakteristik dari bentuk tersebut sebagai hasil dari interaksi dengan totalitas bentuk tersebut”. Berdasarkan pandangan ini dapat dipahami bahwa perubahan yang dilakukan pada suatu area akan dapat mempengaruhi area yang lain. Hal ini terjadi karena dalam suatu kamunitas tidak hanya berlaku satu sistem saja, tetapi berbagai sistem yang saling kait mengkait menyatu dan terpadu, sehingga memungkinkan masyarakat itu hidup dalam keadaan yang '‘antap'’(steady state).
c.       Kelompok Kepentingan (Vested Interests).
Salah satu sumber yang dapat menghambat perubahan ekonomi dalam masyarakat antara lain adlah adanya kelompok kepentingan yang mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan pengembangan masyarakat. Misalnya saja, berdasarkan pandangan teori konflik dapat diperkirakan bahwa beberapa kelompok mempunyai kepentingan tertentu dengan adanya ‘kantung-kantung’ kemiskinan. Karena adanya kantung kemiskinan, persediaan untuk ‘tenag kerja upah rendah’ tetap tersedia, sehingga pada kelompok kepentingan tertentu niat untuk mengembangkan suatu masyarakat manjadi mendua karena adanya kepentingan tertentu yang bertentangan prinsip dasar untuk memandirikan dan meningkat taraf hidup masyarakat.
d.      Hal yang Bersifat Sakral (The sacrosanct).
Berdasarkan penelitian beberapa antropolog, Watson, melihat bahwa pada berbagai budaya beberapa kegiatan tertentu tampak lebih mudah berubah dibandingkan beberapa kegiatan yang lain. Salah satu yang mempunyai nilai kesulitan untuk berubah yang tinggi adalah ketika suatu teknologi ataupun program inovatif yang akan dilontarkan ternyata membentur nilai-nilai keagamaan ataupun nilai-nilai yang dianggap ‘sakral’. Misalnya saja, dalam dunia bisnis yang banyak didominasi oleh manajer pria, kehadiran manajer wanita saat ini sudah dapat diterima. Karena gagasan mengenai manjer wanita tidak tampak bertentangan dengan kebiasaan yang dianggap sakral oleh masyarakat, tetapi kehadiran rabbi (pendeta Yahudi) wanita tampaknya belum dapat diterima oleh komunitas Yahudi dimanapun mereka berada. Contoh lain dapat pula terlihat ketika terjadi isu mengenai lemak babi yang digunakan untuk bahan campuran beberapa produk makanan tertentu. Begitu isu tersebut tersebar (yang sebenarnya menyentuh hal yang bersifat sakral dalam pandangan umat Islam), maka tentangan pun muncul dari berbagai macam pihak, yang merupakan manifestasi ketidaksetujuan masyarakat.
e.       Penolakan terhadap ‘Orang Luar’ (Rejection of Outsiders’).
Penolakan terhadap orang luar juga perlu diperhatikan oleh community worker, karena community worker biasanya merupakan orang yang berasal dari luar komunitas tersebut. Meskipun community worker bersal dari luar daerah itu, tetapi ia tidak boleh menjadi orang luar (outsiders) dalam komunitas tersebut.
Dari sudut pandang psikologi dikatakan bahwa manusia mempunyai sifat yang universal, slah satunya adalah ia mempunyai rasa curiga dan rasa terganggu (hostility) terhadap orang asing. Oleh karena itu, seorang worker harus mempunyai keterampilan berkomunikasi yang baik agar ia tidak menjadi orang luar dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan keadaan di atas, maka perubahan yang dilakukan oleh community worker haruslah dilakukan secara bertahap, dan tahap pertama adlah menjalin relasi terlebih dahulu, agar ia tidak menjadi orang luar. Bila relasi telah terbentuk barulah ia dapat melanjutkan ke langkah selanjutnya, dan dapat dikatakan kurang tepat bila worker melanjutkan ke langkah berikutnya tanpa terbentuk relasi terlebih dahulu.

Berdasarkan gambaran di atas, maka dapt diketahui bahwa tidak semua intervensi dapat berhasil secara mutlak. dengan kata lain, berbagai inovasi yang ditawarkan dan dikembangkan oleh community worker bekerjasama dengan masyarakat belum tentu dapat mencapai sasaran 100%. Masih banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi oleh community worker agar tujuan perubahan tersebut dapat tercapai.
Untuk mengurangi hambatan tersebut. Watson juga, memberikan beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan. Pada intinya rekomendasi tersebut terkait dengan tiga pertanyaan dasar yaitu:
1.      Siapa yang melakukan perubahan?
a.       Kendala yang dapat dikurangi bila komunitas dapat merasakan bahwa perubahan yang mereka lakukan bukanlah perubahan yang dilakukan oleh ‘orang luar’.
b.      Kendala dapat dikurangi bila proyek pengembangan masyarakat didukung baik oleh masyarakat dan para pimpinan puncak yang terkait.
2.      Bentuk perubahan yang seperti apa yang akan dilakukan?
c.       Kendala dapat dikurangi bila partisipan (warga komunitas) dapat melihat bahwa perubahan yang dilakukan dapat mengurangi beban yang mereka rasakan dan bukan sebaliknya.
d.      Kendala dapat dikurangi bila proyek atau program pengembangan masyarakat yang dijalankan sesuai (tidak bertentangan) dengan norma dan nilai dalam masyarakat.
e.       Kendala dapat dikurangi bila program yang dikembangkan dapat menampilkan hal yang baru dan menarik minat warga masyarakat.
f.       Kendala dapat dikurangi bila warga masyarakat merasa bahwa otonomi dan ‘keamana’ mereka tidak terancam.
3.      Prosedur untuk malakukan perubahan.
g.      Kendala yang ada dapat dikurangi bila warga masyarakat dilibatkan dalam proses pendiagnosisan masalah, sehingga mereka mengetahui dan menyetujui bahwa hal tersebut merupakan masalah yang penting dan harus mereka atasi.
h.      Kendala dapat dikurangi bila proyek yang dikembangkan diadopsi berdasarkan diskusi dan kesepakatan kelompok.
i.        Kendala dapatdikurangi bila kelompok yang mendukung dapat menyakinkan kelompok yang menentang, sehingga mereka (kelompok yang menentang) menyadari tujuan perubahan tersebut, serta mengurangi rasa ‘kekuatiran’ dalam masyarakat.
j.        Kendala dapat dikurangi bila warga masyarakat dapat memberikan umpan balik dan mengklarifikasikan program inovatif yang ditawarkan, sehingga kesalahpahaman dan ketidakmengertian warga dapat dikurangi.
k.      Kendala dapat dikurangi bila warga masyarakat mempercayai, mau menerima dengan senang hati, serta mendukung relasi yang sudah berkembang.
l.        Kendala dapat dikurangi bila proyek tetap memberikan kesempatan dan terbuka untuk diperbaiki dan dikaji ulang, jika pengalaman-pengalaman yang muncul adalah hal yang tidak diinginkan ataupun tidak ‘menyenangkan’.

DASAR-DASAR PENGEMBANGAN MASYARAKAT

A.    Pengertian Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat, secara singkat dapat diartikan sebagai upaya (yang dilakukan oleh suatu komunitas dengan atau tanpa dukungan pihak luar) untuk menumbuhkan kesadaran, mengembangkan daya nalar, sikap dan keterampilan masyarakat setempat agar mereka secara mandiri mampu memanfaatkan potensi dan peluang-peluang untuk mengelola program pembangunan demi perbaikan kualitas hidup mereka secara berkelanjutan. dalam pengertian ini, terdapat beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1.      Kehadiran pihak luar, bukan untuk mengambil alih tanggungjawab upaya perbaikan kualitas hidup masyarakat yang menjadi sasaran kegiatannya. Karena itu, kehadirannya tidak boleh menciptakan situasi “ketergantungan”, tetapi cepat atau lambat, harus mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk mengelola (merencanakan, melaksanakan dan melanjutkan) program-program pembangunan sesuai dengan kebutuhan mereka.


2.      Pengertian mandiri yang dimaksudkan di sini, bukan berarti manolak atau tidak lagi memerlukan bantuan/dukungan pihak luar, tetapi memiliki kemampuan untuk manawar setiap bantuan/dukungan yang ditawarkan oleh pihak luar.
3.      Program-program pembangunan yang diupayakan secara mandiri oleh masyarakat tersebut tidak bersifat “sementara” tetapi harus berkelanjutan untuk waktu yang tidak terbatas.

B.     Filosofi Pengembangan Masyarakat
Mengacu kepada pengertian di atas, maka setiap kegiatan pengembangan masyarakat harus dilandasi oleh filosofi kerja sebagai berikut:
1.      Membantu masyarakat untuk bisa membantu dirinya sendiri.
2.      Terus-menerus berupaya untuk mamperbaiki kualitas hidup dalam arti yang seluas-luasnya (fisik, sosial,ekonomi, mental/spiritual).
3.      Menjaga keserasian dan keseimbangan, baik antara sesama warga masyarakat, antara masyarakat dan lingkungannya, serta antara warga masyarakat dengan Penciptanya.

C.    Kelemahan umum kegiatan Pengembangan Masyarakat
Pengalaman menunjukkan, bahwa kekurang berhasilan program-program pengembangan masyarakat seringkali disebabkan oleh banyak hal, yang antara lain karena pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat, seringkali dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Kelemahan pendekatan proyek adalah:
a.       Seringkali kurang memperhatikan pembinaan lanjutan “pasca proyek”
b.      Lebih berorientasi kepada kepuasan pelaksana, dan bukan kepada manfaatnya bagi masyarakat.
c.       Lebih mengutamakan tercapainya target-target fisik jangka pendek, dibanding manfaat dan dampaknya terhadap kemandirian masyarakat untuk melanjutkan pembangunan (suitainable self propelling development).

Asumsi-asumsi yang salah terhadap kelompok sasaran, seperti:
v  Anggapan bahwa masyarakat itu “bodoh”
v  Anggapan bahwa masyarakat “tidak mau maju”
v  Anggapan bahwa masyarakat ”miskin”
v  anggapan bahwa “yang baru” selalu “lebih baik”
v  Anggapan bahwa cukup dengan “peniruan” model-model yang telah berhasil.
d.      Terlalu menggunakan ukuran-ukuran ekonomi dan kurang memanfaatkan ukuran-ukuran non-ekonomi.
e.       Perangkap “kecongkaan Intelektual” (intelectual pride), yang tercermin pada:
v  Ketertutupan kegiatan untuk mengaitkan dan melibatkan pihak lain yang sebenarnya (juga) memiliki tanggungjawab dan kepentingan yang sama terhadap pengembangan masyarakat.
v  Kealpaan tentang kaitan kegiatan dengan sistem pembangunan masyarakat dalam arti luas. Penerapan konsep atau istilah yang sedang “in” (ngetrend), tetapi kurang pemahaman tentang ide-dasarnya.

D.    Strategi Pengembangan Masyarakat

Dalam pengembangan masyarakat, strategi yang ditetapkan harus diarahkan kepada terwujudnya “pembangunan yang dikelola sendiri oleh masyarakat” (community managed development). Namun, didalam penerapannya, akan senantiasa dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Dalam hubungan ini, peran bantuan yang dilakukan harus menerapkan strategi partisipatif yang senantiasa menghindari strategi social engineering (“to do to people”), dan lebih banyak menerapkan strategi “social marketing (to do for people) dan social participation (to do with people).




E.     Desain kegiatan
Sesuai dengan strategi partisipatif, program-program yang akan dikemabngkan dirancang sebagai suatu proses yang diarahkan untuk mewujudkan proses pembangunan mandiri yang berkelanjutan (self propelling sustain able development).

F.     Metoda
Bertolak dari desain atau rancangan program-program yang akan dikembangkan, semua kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan di wilayah kerjasama pengembangan masyarakat akan dipadukan dalam satu kesatuan proses yang berkelanjutan, sebagai penerapan metoda “riset aksi yang partisipatif “ (participatory action research/PAR).
Yang dimaksud dengan PAR di sini, bukanlah suatu “proyek” yang melibatkan partisipasi masyarakat, melainkan lebih bernuansa filosofis untuk memberikan kesempatan dan kepercayaan terhadap kemampuan dan kemauan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya sendiri dan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang mereka miliki sendiri, melalui kegiatan aksi dan refleksi yang berkelanjutan.
Di dalam pelaksanaannya, PAR dilaksanakan sebagai berikut:
1.      Kegiatan riset dilaksanakan sendiri oleh masyarakat melalui “community self survei (CSS)” dan participatory rural appraisal (PRA).
2.      Kegiatan aksi merupakan “proses belajar” yang terus-menerus dan dilaksanakan dalam bentuk pelatihan (in-door dan out-door) yang kait-mengait secara berkelanjutan dengan menggunakan metoda “pendidikan orang dewasa” yang partisipatif (Participatory training method).
3.      Refleksi dilakukan juga oleh masyarakat dalam bentuk pemantauan dan evaluasi kegiatan melalui “participatory assesment for monitoring and evaluation (PAME)”.
G.    Kegiatan Yang Akan Dikembangkan
Selaras dengan tujuan pengembangan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang “holistik”, kegiatan yang akan dilaksanakan di wilayah kerjasama pengembangan masyarakat akan mencakup banyak aspek sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Meskipun demikian kegiatan di wilayah pengembangan masyarakat memrlukan “entry point” yaitu suatu “kegiatan awal” terpilih yang diyakini akan mudah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat, serta dalam waktu yang relatif singkat dapat dirasakan manfaatnya, sehingga menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahapan berikutnya.
tentang hal ini, “entry point” dapat berupa:
1.      Pelatihan Kader dan pengorganisasian Pembangunan Desa
2.      Pengelolaan modal-bergulir
3.      Program kooperatif pembangunan/perbaikan rumah-sehat
4.      Pengelolaan dana-sehat
5.      Pengelolaan program penghijauan/hutan-rakyat
6.      Usaha-bersama wirausaha-kecil
7.      Pembangunan sarana/prasarana umum
8.      dll.

H.    Tahapan Kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksnakan di wilayah kerjasama pengembangan masyarakat, akan dilaksanakan secara terpadu dan bertahap sebagai berikut:
v  Persiapan (studi data-dasar, perumusan konsep, penyadaran masyarakat dan sosialisasi program)
v  Pelatihan untuk perencanaan kegiatan-awal
v  Pelatihan kegiatan-aksi (pengorganisasian, kewirausahaan, keterampilan-teknis, pengelolaan dan bergulir, monitoring dan evaluasi, dll)
v  Pelaksanaan aksi
v  Monitoring dan fasilitasi
v  Evgaluasi dan rekonsiderasi
v  Diseminasi model
v  Pengembangan kegiatan lanjutan
Disamping pentahapan kegiatan seperti dikemukakan di atas, juga dilakukan pentahapan sifat-kegiatan yang berkaitan dengan proses pemandirian masyarakat, yang mencakup: inovatif, fasilitatif, konsultif, dan informatif. Tabel ini bawah ini akan menunjukkan ancangan tahapan kegiatan sesuai dengan fungsi yang diterapkan serta selang waktu yang diperlukan.

I.       Jangka Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan di wilayah kerjasama pengembangan masyarakat, pada prinsipnya tidak terbatas hanya sampai selang waktu tertentu (padaTabel), namun berkelanjutan dengan perubahan sifat kegiatan yang selaras dengan tahapan kemandiriannya.
Tabel. Ragam Kegiatan dan Periode Waktunya
RAGAM KEGIATAN

TAHUN KE:

KETERANGAN

1 - 3
3 - 5
> 5

Inovatif




Fasilitatif




Konsultatif




Informatif




Diseminasi





Tetapi jika terpaksa harus “ditinggal” setelah waktu tertentu, secepatnya setelah 3 (tiga) tahun, dengan asumsi bahwa masyarakat sasaran telah memasuki tahap kemandiriannya. Itupun dengan catatan, bahwa peran bantuan di wilayah yang “lama” tidak berarti dihentikan sam-sekali, tetapi masih terus berlangsung dalam bentuk kegiatan-kegiatan konsultatif dan informatif.
J.      Ukuran Keberhasilan Model Pengembangan Masyarakat
Yang dimaksud dengan “model” disini sebenarnya bukanlah “ragam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan”, melainkan proses Pengembangan masyarakat yang partisipatif yang di dalam prakteknya selalu menerapkan metoda PAR melalui di mana kegiatan-kegiatan: (1) Perencanaan dilaksanakan melalui CSS dan PRA, (2) Aksi dilaksanakan dalam bentuk PTM, dan (3) Refleksi serta Pengembangannya dilakukan melalui PAME.
Mengenai ragam kegiatan yang akan dilaksanakan, sangat tergantung kepada kondisi masyarakat di tempat “yang baru”, sedemikian rupa sehingga aemua kegiatan yang akan dilaksanakan benar-benar memenuhi syarat kelayakan dalam arti:
a.       Teknis applicable, atau secara dapat dilaksanakan, sesuai dengan keadaan sumber daya fisik dan kemampuan/keterampilan sumberdaya manusia setempat.
b.      Biaya reasonable dalam arti dapat dicukupi oleh kemampuan setempat
c.       Kegiatan profitable dalam arti benar-benar memberikan keuntungan ekonomis maupun manfaat non-ekonomis.
d.      Kegiatan acceptable, dalam arti dapat diterima oleh nilai-nilai sosial-budaya setempat, serta tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah daerah, sehingga dapat menimbulkan kerawanan politis.

K.    Ancaman dan faktor Pendukung
Sejalan dengan pemahaman tentang kelayakan model di atas, pada tahap perencanaan setiap kegiatan hendaknya senantiasa diwaspadai tentang segala sesuatu yang dapat menyebabkan ketidakberhasilan, baik yang antara lain dapat berupa:
1.      Keadaan teknis, seperti: bencana-alam, wabah penyakit dll.
2.      Pembiayaan, yang menuntut korbanan atau memberatkan masyarakat.
3.      Kerugian-kerugian ekonomis karena ketidak-pastian pasar, kegagalan panen, dll.
4.      Kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan, atau bertentangan dengan nilai.
5.      Sosial dan budaya setempat.
6.      Mobilitasi masa, pemaksaan, dan atau pemebrdayaan masyarakat yang belum tentu.
7.      Dapat diterima oleh penguasa dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Disamping itu, perlu dicermati adanya kegiatan-kegiatan pencatatan (recording dan dokumentasi kegiatan), rekaman kegiatan diskusi, pertemuan dan percakapan-percakapan lainnya, serta perlunya publikasi kegiatan baik dalam rangka penyadaran, sosialisasi program, diseminasi, maupun “pemasaran” model.

L.     Mengefektifkan Pengembangan Masyarakat
Kegiatan pengembangan masyarakat pada umumnya diawali dengan upaya “menjual” ide atau inovasi.
Tetapi harus dipahami bahwa kegiatan ‘menjual’ ide tersebut memiliki perbedaan mendasar dengan kegiatan bisnis yang menjual komoditi. Perbedaan itu terletak kepada kapan kita boleh pergi meninggalkan masyarakat selaku “konsumennya”. Pada kegiatan bisnis, biasanya kita harus segera mencari konsumen baru jika ternyata komoditi yang ditawarkan tidak segera laku. Tetapi, kegiatan pengembangan masyarakat harus sebaliknya, yaitu: jika belum laku, kita belum boleh pergi, dan jika sudah laku, justru sebaiknya pergi mencari konsumen baru. Mengingat kesulitan yang sering dialami dalam kegiatan awal tersebut, berikut ini disampaikan beberapa alternatif upaya untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pengembangan masyarakat.
       (1). Legitimasi tokoh Masyarakat
Salah satu hal yang perlu diperhatikan sebelum mengenalkan kegiatan pengembangan masyarakat adalah, adanya legitimasi dari penguasa atau tokoh masyarakat. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa: ide hanya akan dapat diimplentasikan dalam suatu bentuk aksi tertentu, jika telah memperoleh legitimasi.

ide   à   legitimasi   à   aksi

Berkaitan dengan hal ini, yang perlu dipahami terlebih dahulu oleh setiap pelaksana kegiatan pengembangan masyarakat adalah, siapa-siapa yang memegang kekuasaan legitimasi, sebab dalam praktek, sering kali justru pemegang legitimasi tidak hanya penguasa formal atau tokoh-tokoh masyarakat yang lain, melainkan banyak yang “tersembunyi” di bawah permukaan.
       (2). Motivasi Masyarakat
Salah satu upaya yang sering dilakukan untuk memperoleh kepercayaan masyarakat tetap ide yang kita tawarkan pada tahap awal pengembangan masyarakat adalah: menunjukkan manfaat atau keunggulan-keunggulan ekonomi (dan non-ekonomi) dari ide/upaya yang ditawarkan. Dasar pemikiran seperti itu memang kerap-kali efektif, tetapi harus diingat bahwa motivasi seseorang untuk berbuat sesuatu tidak selalu dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan-kebutuhan ekonomi. Dalam banyak kasus, justru alasan-alasan non ekonomi (kekuasaan, penghargaan, harga-diri, keamanan, ketentaraman, keadilan, dll) seringkali lebih kuat.
       (3). Kebutuhan Masyarakat
Kegiatan pengembangan masyarakat, adalah upaya perbaikan kualitas manusia, dan bukannya mengorbankan manusia demi terlaksananya pembangunan. Dalam hubungan ini, perlu diidentifikasikan adanya dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan yang sesungguhnya (real-need) dan kebutuhan yang dirasakan (felt-need).
Pada banyak kasus, tidak semua felt-need merupakan real-need; den sebaliknya tidak semua real-need benar-benar merupakan felt-need; dan dalam kaitan ini, setiap kegiatan pengembangan masyarakat harus memenuhi real need yang sudah dirasakan sebagai felt need. dengan kata lain, sebelum menawarkan ide/inovasi, harus diawali dengan kegiatan penyadaran agar real need tersebut menjadi felt need.
       (4). Sikap Masyarakat
Kecepatan adopsi atau penerimaan masyarakat terhadap ide/inovasi yang ditawarkan, pada dasarnya diawali oleh bagaimana sikap atau persepsi mereka terhadap ide/inovasi tersebut.
Tentang hal ini, perlu diingat adanya konsep bahwa; sikap merupakan fungsi dari kepentingan atau dalam bahsa ekonomi dapat dikemukakan sebagai fungsi matematis:
s  =  f (k)
Karena itu, pengenalan kegiatan pengembangan masyarakat pada tahap awal harus mampu menjelaskan arti penting atau manfaatnya bagi masyarakat, baik makna ekonomi maupun hal-hal lain yang menyangkut pertimbangan non-ekonomi.
       (5). Manfaat Yang diharapkan
Secara konseptual, respon yang diberikan oleh masyarakat sangat tergantung kepada persepsi mereka terhadap reward yang akan dapat diperoleh atau akan dinikmati jika mereka memberikan responnya.
Dalam kaitan ini, kecepatan dan kualitas respons yang diberikan dipengaruhi oleh:
a.      Besar kecilnya manfaat
b.      Kecepatan penerimaan manfaat setelah memberikan respons
c.       Ragam reward yang akan dapat diterima/dinikmati
d.      Enersi atau korbanan yang harus dikeluarkan untuk memperoleh manfaat
e.       Isolasi atau peluang lain yang dapat diharapkan
       (6). Pertimbangan ekonomi (bisnis)
Meskipun antara kegiatan pengembangan masyarakat memiliki perbedaan mendasar dengan kegiatan bisnis pada umumnya, seperti telah dikemukakan, namun dalam banyak hal konsep-konsep bisnis perlu dipahami untuk memperlancar kegiatan pengembangan masyarakat. Konsep-konsep yang dimaksud disini adalah:
a.       Keunggulan bersaing (ekonomis, maupun non-ekonomis), baik yang menyangkut korbanan yang harus dikeluarkan maupun manfaat yang dapat diharapkan.
b.      Daya beli, baik dalam arti ekonomi 9modal), maupun pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan.
c.       Kemauan menbeli, kaitannya dengan motivasi dan kebutuhan yang dirasakan.
d.      Promosi yang menarik, sesuai dengan kelompok sasarannya, baik yang menyangkut pemilihan isi pesan, media yang efektif, serta pelaku dan frekuensi kegiatannya.
e.       Pelayanan, baik kemudahan-kemudahan yang disediakan maupun pelayanan pasca-jual.

PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Dalam tahap ini akan dilakukan beberapa kegiatan khususnya yang berhubungan langsung dengan masyarakat, yaitu:
v  Studi Pendahuluan (Base Line Study) Studi dasar dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data awal (data base), yang dilaksanakan melalui kegiatan “penilaian cepat” (Rapid Rural Appraisal/RAA) oleh pihak kuar dan “survey mandiri” (community self survey/CSS) oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh pihak-luar.
v  Menentukan kerjasama dan kemitraan dengan lintas sektor, LSM yang terkait untuk pembinaan dan pemberdayaan keluarga dan masyarakat.
v  Menentukan keluarga sasaran dan jumlah sasaran (keluarga) yang akan dibina melalui pendekatan tergantung pada sumber daya manusia dan sarana yang tersedia untuk kegiatan pembinaan melalui pendekatan keluarga menuju kemandirian serta sumberdana dan sinkronisasi kegiatan lintas program dan lintas sektoral.
v  Pelaksanaan Program aksi, yang dilakukan terbagi atas 3 tahapan:
1.      Pelatihan dan pelaksanaan PRA (Participatory Rural Appraisal), agar masyarakat: mengidentifikasikan maslah stratejik, mengidentifikasikan kebutuhan yang diperlukan, dan membuat rincian kegiatan pemberdayaan yang diperlukan.



2.      Perencanaan Kegiatan Oleh Masyarakat
v  Perencanaan kegiatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan organisasi yang telah ada dalam masyarakat seperti misalnya PKK, Karang Taruna dan lain sebagainya.
v  Namun apabila dalam masyarakat tersebut belum ada organisasi yang dapat diandalkan, maka dapat dilakukan pembentukan organisasi atau kelompok penggerak yang terdiri dari berbagai unsur yang ada dalam masyarakat yang diharapkan dapat menjadi rekan penyelenggaraan program sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi.
v  Perencanaan dilakukan oleh masyarakat dengan pendampingan, karena sebenarnya masyarakat memiliki banyak potensi yang dapat digunakan. Namun karena keterbatasan pengetahuan, ruang dan gerak masyarakat tidak menyadari potensi yang dimilikinya. dalam pelaksanaan program masyarakat akan dibantu untuk menggali potensi yang dimilikinya untuk mengembangkan dirinya. Sehingga potensi yang dimiliki oleh masyarakat dapat digali dan dikembangkan sedemikian rupa agar mampu berperan secara optimal dalam kegiatan pengembangan masyarakat setempat.
3.      Pemberian stimulan, pembangkitan semangat masyarakat untuk berinisiatif dan berperan aktif dalam penjagaan kesehatan pribadi, keluarga dan masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian stimulan dan masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian stimulan. Dengan catatan bahwa pemberian stimulan tersebut tidak akan menimbulkan ketergantungan. Pemberian stimulan dan pelatihan/pelaksanaan kegiatan aksi dilakukan terhadap: keluarga-inti, kelompok masyarakat, dan stakeholders yang lain. Stimulan/perangsang yang diberikan berupa materi (fisik) yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat.


MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Rangkaian kegiatan perencanaan dan pelaksanaan dilakukan atas dasar gotong royong dan swadaya dalam rangka menolong diri sendiri dalam memecahkan masalah agar mampu mencapai kehidupan yang sehat dan sejahtera.
Dalam pelaksanaan program dapat dilakukan dengan membentuk dan memanfaatkan organisasi masyarakat, yang diharapkan dapat menjadi rekan penyelenggara program sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan yang dilaksanakan.
Penilaian keberhasilan program dilakukan dengan memonitor setiap jenjang pelaksanaan kegiatan, sehingga akan diketahui perkembangan dan tingkat keberhasilannya.
Sementara itu evaluasinya dilakukan terhadap:
a.       Pengumpulan data terhadap output/proses, outcome, dianalisis dan dibandingkan antara sebelum intervensi dan sesudah intervensi (impact).
b.      Melakukan evaluasi terhadap instrumen (sarana, prasarana) serta proses yang digunakan. dengan mengacu pada hal tersebut maka evaluasinya antara lain:
v  Pelaksanaan sosialisasi program
v  Pengumpulan data base melalui RRA
v  Pelatihan dan pelaksanaan survei mandiri/CSS
v  Pelatihan dan pelaksanaan PRA
v  penentuan rencana, usul dan alternatif pemecahan masalah oleh masyarakat.
c.       Output dan Out come
d.      Melakukan analisis terhadap cakupan/lingkup/jangkauan yang telah dilaksanakan.



e.       Lokakarya Laporan Hasil Pengembangan Masyarakat.
dalam tahap ini akan dipaparkan melalui suatu loka-karya/diskusi/ sarasehan mengenai seluruh pelaksanaan kegiatan yang melibatkan tim pelaksana, pihak-pihak terkait dan masyarakat.
Jadi pengembangan wilayah itu tidak lain dari usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dimulai dari pemilihan komoditas dan jasa dari masyarakat setempat yang merupakan potensi untuk dikembangkan dan bila mungkin merupakan roda gendeng (roda inti yang menggerakkan seluruh sistem) dari kegiatan masyarakat tersebut. dalam pemilihan produk ini diperlukan penilaian yang cermat, yang didasari pada dinamika pembangunan masyarakat setempat dan dalam pengembangannya memerlukan dukungan proses inovasi. dalam proses produksi, komoditas yang dipilih diperlukan masukan, pelatihan, teknologi, lembaga keuangan, pemasran dan lain-lain, yang terkait satu sama lain. Peran pelatihan dalam proses ini sebagai faktor penggabung dari variabel pembangunan tersebut.
Selanjutnya kegiatan ini akan meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Secara natural dan dinamis tabungan masyarakat akan terbentuk dan teknologi baru dikembangkan untuk mendapatkan lebih banyak nilai tambah. Selanjutnya kegiatan ini akan menambah jenis komoditas dan produk, penggunaan teknologi baru dan secara dinamis meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan.





           


DAFTAR PUSTAKA

Britha Mikkelsen.  1999.  Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan.  Yayasan Obor IndonesiaJakarta.

Fatah L.  2004.  Dinamika Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan.  Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

Mardikanto T.  2003.  Redefinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. PUSPA. Sukoharjo-Solo. 



No comments:

Post a Comment