Wednesday, 1 March 2017

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA KAWASAN KONSERVASI (Makalah Perencanaan Tataguna Lahan dan Pembangunan Wilayah)



BAB I
PENDAHULUAN
Daerah penyangga berperan sangat penting bagi kelestarian suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagai buffer dalam mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan pada daerah atau desa sekitar kawasan yang berinteraksi tinggi dengan memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat sekitarnya. Fungsi daerah penyangga ini dapat diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat, melalui rehabilitasi lahan kritis dalam sistem hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau agroforestry. Model pengembangan dan pengelolaannya didasarkan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk pembagian daerah penyangga ke dalam zonasi.
Untuk menyamakan persepsi tentang zonasi, maka terlebih dahulu perlu disampaikan beberapa definisi tentang apa yang dimaksud dengan zona dan zoning. Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan yang spesifik. Sedangkan zoning adalah pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi dan karakteristik semula atau diarahkan bagi pengembangan fungsi-fungsi lain.
Zonasi tersebut terbagi tiga, yaitu jalur hijau, jalur interaksi dan jalur kawasan budidaya. Komposisi jenis tumbuhan yang dikembangkan di masing-masing jalur disesuaikan dengan jarak dari batas kawasan, zonasi, dan luas lahan agar tidak berdampak pada kawasan. Pengembangan tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, obat-obatan dan perkayuan dalam sistem agroforestry mempunyai nilai ekonomis dan ekologis secara terpadu untuk melestarikan sumber genetika tanaman dan satwa liar serta konservasi lahan dan air.
Program konservasi kawasan hutan yang memiliki keanekaragaman jenis flora-fauna tinggi, sebagai habitat satwa langka, pelestarian potensi sumber air dan daerah aliran sungai serta sumber ekonomi masyarakat desa hutan di antaranya menambah dan memperluas kawasan konservasi. Dengan makin meningkatnya pengembangan wilayah di luar kawasan konservasi maka perlu penataan fungsi kawasan untuk meningkatkan nilai dan peluang pemanfaatan kawasan untuk menunjang pembangunan. Di sisi lain adanya kepentingan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya memberi peluang pula terjadinya peningkatan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan dan fisik kawasan secara illegal. Guna memadukan kepentingan ekonomi masyarakat tersebut dengan kepentingan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan ekosistemnya, diantaranya adalah membangun daerah penyangga di luar Kawasan Pelesatarian Alam.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan pelestarian alam adalah kawasan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Dengan demikian, daerah penyangga ini mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu untuk mengurangi tekanan penduduk ke dalam kawasan pelestarian dan suaka alam, memberikan kegiatan ekonomi masyarakat dan merupakan kawasan yang memungkinkan adanya interaksi manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan kawasan konservasi.
Tekanan terhadap kawasan yang berupa perambahan, pembukaan lahan hutan memerlukan upaya intensifikasi pengelolaan lahan masyarakat di daerah penyangga. Tujuan pengelolaan daerah penyangga adalah untuk meningkatkan potensi manfaat jasa lingkungan dan nilai ekonomi lahan masyarakat, termasuk upaya merehabilitasi lahan kritis dengan sistem hutan kemasyarakat (Hkm), hutan rakyat (HR) atau agroforestry.














BAB II
MODEL DAERAH PENYANGGA
Pengelolaan taman nasional, terutama dari segi pengamanan kawasan dan intervensi masyarakat yang kurang memahami aturan yang berlaku, kepentingan ekonomi dan permasalahan lahan yang berkembang di sekitar taman nasional menyebabkan pembangunan daerah penyangga menjadi sangat penting. Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan daerah secara terpadu. Daerah penyangga merupakan kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas dan ekosistem taman nasional, baik sebagai asset wisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan obat-obatan.
Dalam menetapkan dan mengelola daerah penyangga kawasan konservasi harus didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. Oleh karena itu pembangunan kawasan konservasi, daerah penyangga, dan ekonomi masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang dapat menguntungkan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan  daerah penyangga kawasan konservasi. Dengan demikian, pembangunan daerah penyangga merupakan pembangunan terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan obyektif dari masing-masing wilayah yang dibangun. Sejalan dengan itu maka rencana pembangunan daerah penyangga dan kawasan konservasi dalam perencanaan terpadu harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah atau daerah sehingga setiap usaha pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan daerah penyangga adalah perpaduan keserasian pengelolaan lahan hutan dan pertanian sesuai dengan kondisi fisik kawasan untuk mendapatkan hasil optimal guna menunjang sistem perekonomian masyarakat lokal. Untuk itu daerah penyangga pun dibedakan penataannya atas wilayah-wilayah (zonasi). Sebagai contoh daerah penyangga Taman Nasional Berbak Jambi dibangun berdasarkan zonasi berupa jalur yaitu Jalur Hijau, Jalur Interaksi, dan Jalur Kawasan Budidaya (SK Gubernur Propinsi Jambi Nomor 320 Tahun 1999) dapat menjadi model daerah penyangga taman nasional yang dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian taman nasional.
Fungsi jalur hijau adalah menyangga fisik kawasan dari gangguan, pengaruh jenis eksotik tumbuhan, dan sebagai perluasan homerange satwa. Areal yang dapat dikelola sesuai dengan fungsi di atas adalah HPH, kawasan lindung, dan kawasan hutan lainnya yang berbatasan dengan kawasan konservasi. Fungsi jalur interaksi adalah menyangga kawasan konservasi dan jalur hijau dari perubahan ekosistem yang drastis, gangguan satwa liar ke kawasan budidaya, dan mendukung peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Pengelolaan jalur interaksi dilakukan dengan pengembangan agroforestry, dimanfaatkan secara terbatas dan vegetasi sekunder atau areal yang ditinggalkan masyarakat dibangun menjadi hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan yang dapat mendukung konservasi tumbuhan yang benilai ekonomis dan ekologis.
Fungsi kawasan budidaya daerah penyangga adalah untuk mendukung peningkatan sosial ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dan wisata. Sedangkan pengelolaan kawasan budidaya dilakukan pengembangan program pertanian terpadu melalui pembukaan lahan tanpa pembakaran, pemakaian herbisida yang tidak berdampak negatif, serta menetapkan pemukiman masyarakat desa lokasi yang tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap kawasan dan masyarakat akibat satwa liar (Setyawati dan Bismark, 2002).
Bentuk-bentuk pengelolaan lahan di daerah penyangga yang teridentifikasi dari hasil penelitian di Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC), Jawa Barat sebagaimana Tabel 1 dengan komposisi pengelolaan lahan sebagaimana pada Gambar 1.
Berdasarkan potensi yang ada, teknologi yang dimiliki, dan nilai ekonomi yang sudah berkembang, masyarakat menjadikan model pengelolaan hutan produksi bersama masyarakat (PHBM), hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan dengan pola agroforestry sangat sesuai dikembangkan sebagai teknik rehabilitasi lahan kritis di daerah penyangga TNGC. Zonasi daerah penyangga yang terdiri dari jalur hijau, jalur interaksi, dan jalur budidaya yang tertata sebagaimana Gambar 1 perlu pengelolaan yang intensif.
Pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, termasuk upaya rehabilitasi lahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, telah memprogramkan pengembangan hutan kemasyarakatan Kepmen No. 311/ Kpts-II/2001, tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan), hutan tanaman, dan hutan rakyat dalam bentuk agroforestry. Sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan, pelaksanaan hutan kemasyarakatan yang dipadukan dengan model agroforestry diharapkan dapat melestarikan hutan alam melalui peningkatan produktivitas lahan hutan di areal masyarakat atau di lahan kritis. Program ini perlu diadakan di sekitar kawasan konservasi seperti taman nasional dengan pengembangan model tersebut di daerah penyangga, untuk meningkatkan kesejahteraan dan persepsi masyarakat dalam perlindungan kawasan pelestarian alam.
Praktek agroforestry yang dikembangkan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat, melalui hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan sebenarnya telah berkembang lama di masyarakat. Sistem tersebut merupakan pengetahuan empirik yang dihimpun dalam kurun waktu yang panjang akibat dari ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Agroforestry yang dikembangkan masyarakat petani menghasilkan hasil hutan non kayu sebagai hasil utama. Secara ekologis berfungsi sebagai hutan alam karena stratifikasi tajuk dari perpaduan jenis tanaman bersifat perdu dan pohon termasuk buah-buahan dan tanaman jenis pohon yang berasal dari hutan alam (Michon dan Foresta, 1995).
Tabel 1. Komponen dan potensi daerah penyangga TNGC
Zonasi
Areal
Potensi
Manfaat Ekonomi
Manfaat Ekologi
Jalur Hijau
Hutan dan Mata Air
*Fauna air
*Sumber pendapatan
*Biodiversitas perairan
*Sumber air
*Manfaat air
*Pelestarian sumber air
*Wisata alam
*Wisatawan dan lapangan pekerjaan
*Nilai lingkungan



Kebun Raya (rencana)
*Koleksi tanaman
*Pengembangan budidaya tanaman hutan
*Pelestarian biodiversitas
*Habitat satwa
*Satwa bernilai ekonomis
*Habitat dan populasi satwa
*Sumber benih
*Hasil pembibitan
*Nilai jasa lingkungan
*Wisata
*Pendapatan dari wisatawan

Hutan Rakyat/Hutan Kemasyarakatan
*Habitat fauna
*Pendapatan masyarakat
*Biodiversitas flora fauna
*Buah-buahan
*Sumber gizi masyarakat
*Pelestarian sumber air
*Pohon hutan dan budidaya
*Industri kayu
*Habitat satwa
*Agrowisata
*Industri pertanian
*Pelestarian eks-situ
Bumi Perkemahan
*Tanaman pelindung
*Pendapatan masyarakat dari wisatawan
*Nilai jasa lingkungan
*Habitat Satwa
*Lapangan pekerjaan
*Biodiversitas fauna
*Wisata


Jalur Interaksi
Agroforestri
*Buah-buahan (salak, nangka, dan lain-lain)
*Sumber mata pencaharian
*Budidaya
*Sayuran (melinjo)
*Tenaga kerja
*Pelestarian eks-situ
*Kayu

*Biodiversitas
*Pangan


Pedesaan
*Perumahan
*Peningkatan pendapatan masyarakat
*Lingkungan pedesaan
*Sarana jalan
*Hasil buah-buahan dan kayu
*Biodiversitas flora fauna
*Kebun
*Lapangan pekerjaan
*Iklim mikro, tata air
*Sawah
*Wisata/wisata budaya
*Berkurangnya intervensi ke hutan
*Pemeliharaan ikan

*Konservasi tanah dan air
*Industri kayu kerajinan


*Pemanfaatan lahan


Taman Wisata Alam
*Wisata & ekowisata
*Pendapatan asli daerah
*Nilai jasa lingkungan
*Tanaman pelindung
*Lapangan pekerjaan
*Biodiversitas Fauna dan flora
 *Habitat satwa
*Pendapatan masyarakat

Jalur Budidaya
Areal Budidaya
*Tanaman sayuran
*Pendapatan masyarakat
*Pelestarian eks-situ
*Tanaman budidaya
*Sumber gizi


*Pendapatan daerah


Gambar 1. Model zona penyangga di TNGC wilayah Kabupaten Kuningan: Hp = PHBM; Hkm = Hutan kemasyarakatan; Ag = Agroforestry; Ds = Desa; Pm = Pemukiman; Pt = Pertanian; Hr = Hutan rakyat; Wa = Wisata alam; Wi = Wisata air; Pri = Perikanan; S = Sawah; K = Kebun; dan Ht = Hutan tanaman

Sebagai salah satu program pengelolaan hutan produksi yang melibatkan masyarakat, model agroforestry dikembangkan di hutan produksi kawasan Gn. Ceremai yang dikenal dengan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Perbedaan komposisi jenis tanaman dan jumlah masing-masing tanaman di antara bentuk pengelolaan lahan dengan pola pengelolaan agroforestry di daerah penyangga TNGC dalam beberapa sistem dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Keragaman jenis tanaman agroforestry di Taman Nasional Gunung Ciremai
Sistem pengelolaan
Jumlah jenis pohon
Kerapatan pohon/ha
Komposisi jenis pohon
Kayu
Buah-buahan
PHBM
13
120
4-7
3-5
Hutan rakyat
22
352
6-7
7-9
Agroforestry
21
300
6-7
5-9

Berdasarkan Tabel 2, pengelolaan kawasan dengan sistem PHBM mempunyai variasi jenis pohon lebih sedikit dan lebih mendekati hutan tanaman, sedangkan pemanfaatan lahan dengan sistem hutan rakyat dan agroforestry memiliki jenis pohon lebih banyak dan kerapatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
keinginan masyarakat untuk pemanfaatan lahan dalam bentuk penanaman tanaman keras dengan sistem hutan rakyat dan agroforestry lebih tinggi pada lahan yang luas seperti masyarakat pedesaan sekitar Tahura Bung Hatta yang memanfaatkan ladang dan pekarangan dengan pola agroforestry dan menanam jenis dengan manfaat dalam porsi berbeda menurut luasan tanah (Tabel 3). Sistem ini akan dapat memberikan nilai ekonomi sepanjang tahun terus menerus sesuai jenis dan produktivitas tanaman yang ditanam.




Tabel 3. Luas lahan dan tanaman yang ditanam di desa sekitar Taman Hutan Raya Tahura Bung Hatta

Penggunaan Lahan (m2)
Kepemilikan Lahan (%)
Jenis Tanaman (%)
Pangan
Buah-buahan
Obat-obatan
Kayu
200
20,45
12,70
13,16
-
12,50
300-600
23,86
19,10
15,79
-
12,00
700-1.000
17,06
22,20
18,42
9,10
20,00
>1.000
38,63
46,00
52,63
90,90
56,00

Sumber : Bismark dan Zuraida, 1997

Masyarakat di desa daerah penyangga Gunung Halimun, mengembangkan hutan rakyat sebagai sumber ekonomi dengan tanaman sengon dalam pola agroforestry. Pengembangan tanaman mahoni dan durian untuk mebel memberikan hasil kayu dengan harga jual Rp 400.000,- - Rp 700.000,- per m³, sedangkan harga sengon Rp 80.000,- per m³. Dalam hal ini masyarakat mengusahakan lebih banyak tanaman pohon pada jalur hijau, buah-buahan, tanaman pangan, dan obat-obatan pada jalur interaksi, sedangkan tanaman pakan ternak di jalur budidaya (Bismark, 2004).
Sistem agroforestry di Sumatera Barat yang menanami lahan hutan sekunder
dengan tanaman semusim, tanaman perdu, dan hewan ternak disebut sebagai parak. Tanaman semusim tidak pernah dominan dan ditanam pada saat peremajaan tanaman kulit manis, pala atau kopi di samping tanaman buah-buahaan dan kayu seperti durian, bayur, dan surian.






BAB III
NILAI EKOLOGIS HUTAN KEMASYARAKATAN DAERAH PENYANGGA
Secara umum manfaat dari sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan model agroforestry ini adalah (Michon dan Deforestra, 1995 dalam Michon dan Deforesta, 2000) :
1.      Pelestarian Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan
Kekayan jenis dalam areal agroforestry sangat tinggi. Agroforestry yang terletak dekat hutan alam terdapat komponen jenis tumbuhan hutan yang beragam. Agroforestry di Krui Lampung dan di Maninjau Sumatera Barat terdapat 300 spesies tumbuhan. Pada agroforestry banyak ditemukan tumbuhan yang membutuhkan sinar matahari lebih banyak, seperti nangka, sukun, pulai, dan bayur.
Masyarakat desa di Gn Halimun, Jawa Barat banyak memanfaatkan flora hutan untuk kepentingan bangunan, sumber pakan, obat tradisional, kayu bakar, pakan ternak, dan upacara adat sejumlah 464 jenis (Harada et al., 2001), tetapi jenis yang umum dibudidayakan di ladang dalam tiga desa didominasi oleh 20 jenis pohon utama yang bernilai ekonomis tinggi dan cepat tumbuh (Bismark, 2004). Jenis pohon yang dikembangkan di antaranya adalah Maesopsis eminii, Agathis alba, Swietenia macrophylla, Durio zibethinus, Melia azedarah, Paraserianthes falcataria, dan Peronema canescens.




 










Gambar 2. Profil arsitektur agroforestri parak di Maninjau, Sumatera Barat
2.      Sumber Buah-buahan
Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang memiliki keragaman tanaman sekitar 300 jenis di mana 200 jenis termasuk ke dalam tanaman budidaya, dan 50 jenis di antaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Agroforestry di Sumatera telah melestarikan pohon buah-buahan lebih dari 30 jenis dan di sekitar Bogor lebih 60 jenis. Jenis yang paling dominan adalah mangga, duku, langsat, nangka, manggis, dan jambu-jambuan. Selain itu melestarikan tumbuhan sayuran yang berprotein tinggi seperti melinjo, petai, dan jengkol (Michon dan Mary, 2000).
Agroforestry di Sumatera dan Kalimantan merupakan tempat pengembangan pohon buah hutan yang terancam punah. Dengan demikian agroforestry tidak hanya memberikan nilai ekonomi, tetapi juga memberikan nilai pelestarian biodiversitas dan genetik, seperti kelengkeng, rambutan, dan sekitar 20 jenis mangga (Michon dan Deforesta, 1995).
3.      Sumber Sayuran dan Obat-obatan
Tanaman sayuran tumbuh pada stratifikasi bawah dari agroforestry di antara tanaman pohon. Konsumsi sayuran masyarakat desa sehari-hari umumnya berasal dari agroforestry. Di Gunung Ciremai telah dibudidayakan sayuran seperti kubis dan wortel. Selain itu tanaman obat-obatan juga menjadi target penanaman di daerah agroforestry. Sebagai contoh, salah satu desa kecamatan di batas TNGC menghasilkan 28 ton jahe dan 15 ton kunir per tahun sebagai bahan rempah dan obat-obatan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2004).
4.      Sumber Kayu
Di daerah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun, masyarakat menanam sengon dan mahoni, dalam 1 keluarga ada yang memiliki 700 batang pohon sengon (Bismark, 2004). Agroforestry di Sumatera Barat telah membudidayakan 40 jenis pohon yang bernilai ekonomis (Michon dan Deforestra, 1995).
5.      Habitat Satwa Liar
Agroforestry yang sudah tertata dengan keanekaragaman jenis tinggi dan komposisi tajuk yang baik dapat menjadi habitat dari beberapa jenis satwa, seperti primata, beruang, dan mamalia teresterial. Peran satwa tersebut dapat sebagai penyebar biji-bijian yang membantu proses regenerasi dan peningkatan keanekaragaman tumbuhan. Perbandingan keanekaragaman jenis burung di hutan primer dan di hutan agroforestry dapat dilihat pada Tabel 4.


Tabel 4. Keanekaragaman jenis burung di hutan primer dan hutan agroforestry
Jenis
Hutan Primer Maninjau
Agroforestry karet Muara Bungo
Agroforestry damar Krui
Agroforestry durian Maninjau
Jenis Burung
179
105
92
69
Jenis Langka (%)
79,9
72,3
75
62,5

Sumber : Thiollay, 1995
Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa 25 % dari spesies burung yang ada di agroforestry tidak dijumpai di hutan alam. Jumlah spesies mamalia yang ditemukan di agroforestry durian 33 jenis, di hutan karet 39 jenis, dan hutan damar 46 jenis dengan jenis yang dilindungi masing-masing 14, 15, dan 17 jenis (Michon et al., 2000).
Dengan demikian, pengembangan hutan rakyat dengan sistem agroforestry memiliki manfaat sebagai rehabilitasi kawasan di daerah penyangga sekitar kawasan taman nasional sekaligus manfaat ekonomis dan ekologis untuk konservasi jenis satwa di luar dan di dalam taman nasional (Bismark, 2002). Hal ini karena hutan rakyat yang memiliki struktur vegetasi menyerupai hutan alam merupakan habitat satwaliar untuk burung dan mamalia mencari pakan burung berupa biji-bijian dan serangga. Hasil penelitian keragaman burung di TNGC dapat dilihat pada Tabel 5.
Hutan tanaman pinus di jalur interaksi daerah penyangga TNGC dapat menjadi habitat elang jawa yang langka. Kondisi lantai hutan yang banyak ditumbuhi tumbuhan bawah sangat potensial untuk habitat mamalia kecil teresterial, sebagai sumber pakan burung predator, dan habitat serangga sebagai pakan burung pemakan serangga.

6.      Konservasi Lahan dan Air
Masalah lingkungan yang umum berkaitan dengan lahan adalah meluasnya lahan kritis dan tingginya tingkat erosi tanah. Di Sulawesi, ladang yang berkembang seluas 10.680 ha dengan topografi 8-35% akan kehilangan unsur hara akibat erosi senilai 4,8 milyar rupiah per tahun (Tjakra Warsa dan hadi Nugroho, 2003) dan biaya penanggulangan erosi di Jawa berkisar 347-415 juta US$ per tahun (Suripin, 2002). Sistem stratifikasi tajuk yang menyerupai hutan Tabel 5. Keragaman burung di hutan rakyat di daerah penyangga TNGC dari segi konservasi tanah dan air akan lebih berdampak pada pengaturan tata air dan hujan tidak langsung ke tanah yang dapat mencegah erosi permukaan. Hal ini terlihat dari komposisi jenis dan pola tanam, jenis pohon di ladang, dan hutan rakyat. Sebagai contoh peran pohon dalam peresapan air seperti Calliandra callothyrsus 56%, Parkia javanica 63,9%, dan Dalbergia latifolia 73,3% (Pudjiharta, 1990).
Tabel 5. Keragaman burung di hutan rakyat di daerah penyangga TNGC
Jenis Burung
Sebaran dan Frekuensi Relatif
Tanaman Sayuran (1 km)*
Tanaman kayu & pangan (3 km)*
Tanaman buah & kayu (5 km)*
Tanaman buah & perkayuan (10 km)*
Zosterops montanus Bonaparte
-
-
++++
-
Halcyon chloris Boddaert
++
-
+++
+
Streptopelia chinensis Scopoli
-
-
++
-
Orthotomus sutorius Pennant
-
-
++++
-
Prinia familiaris Horsfield
-
-
++++
++
Collocalia esculenta Linnaeus
+++
++
++
++
Ichtinaetus malayensis Temminck
-
-
+
+
Aethopyga exemia Horsfield
-
-
++
++
Padda orizyvera
-
-
+
-
Macropygia unchal wagler
-
-
++
-
Turnix suscicator
-
-
++
-
Streptopelia bitorquata
-
-
+
-
Pycnonotus aurigaster Vieillot
+
++
+++
+++
Dendrocopos molucensis Gmelin
-
+
-
++
Lonchura leucograstroides
+
+++
-
-
Cocomantis sepulchralis
-
+
-
+
Copsichus saularis Linnaeus
-
+
-
+
Aerodramus bravirostris Horsfield
+
++
-
++

Keterangan :
++++ = Sangat sering terlihat; +++ = Sering terlihat; ++ = Kadang-kadang terlihat; + = Jarang terlihat; * = Jarak areal tanaman dari batas kawasan

Sumber : Bismark, 2004
Manfaat lain dari adanya pohon terhadap lingkungan adalah terjadinya siklus hara yang efisien sehingga akan mendukung produktivitas lahan melalui penyuburan oleh berkembangnya mikroba tanah. Tersedianya konsentrasi bahan organik, C, dan N tanah dari serasah akan berpengaruh pada biomasa mikroba tanah, termasuk mikoriza yang aktif menyerap dan menyediakan unsur mikro P, N, Zn, Cu, dan S kepada tumbuhan inang, sehingga siklus hara pada agroforestry bersifat efisien dan tertutup (Riswan et al., 1995).
Kawasan Gunung Ciremai adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) dari 43 sungai untuk sumber air irigasi, perikanan, sumber air baku bagi Perusahaan Air Minum (PAM). Dalam kawasan juga terdapat 147 mata air yang mengalirkan air sepanjang tahun antara 50-2.000 l/dt, serta air terjun yang menjadi obyek wisata. Penelitian sebelumnya mencatat bahwa nilai hidrologis dari Gunung Ciremai untuk sektor rumah tangga mencapai 33,5 triyun rupiah per tahun. Suplai air untuk PDAM kota Cirebon dari kawasan Gunung Ciremai adalah 800 l/dt, dan suplai air terbesar adalah 2.500 l/dt untuk pertanian dan perkebunan (Universitas Kuningan, 2004).
Nilai tambah dari pelestarian sumber air dan mata air di daerah penyangga TNGC adalah berkembangnya wisata dengan obyek wisata di waduk, sungai atau mata air. Dengan berkembangnya tempat wisata ini masyarakat mendapat tambahan pendapatan rata-rata Rp 100.000 per bulan per keluarga bagi keluarga yang berusaha di bidang jasa.
Agroforestry telah menunjukkan hasil yang positif. Dalam kegiatan ini masyarakat dapat memanfaatkan lahan hutan untuk kegiatan yang menghasilkan tanaman pangan di antara tanaman hutan dan pohon jenis serbaguna. Selain itu masyarakat dapat mengembangkan teknologi budidaya mereka melalui teknik (kearifan) lokal. Seperti pengembangan tanaman pekarangan, kebun, pemeliharaan hutan sekunder, dan kawasan lindung sekitar desa untuk perlindungan tata air dan mengelola hasil hutan dengan cara pemanfaatan hasil hutan non-kayu (getah, madu, gaharu).
Masyarakat desa Sungai Telang, Kabupaten Bungotebo, Jambi secara tidak langsung telah melakukan konservasi keanekaragaman ekosistem melalui kegiatan agroforesty. Penggunaan lahan seperti sawah, ladang, kebun (hutan sekunder muda), belukar (hutan sekunder tua) di desa tersebut diolah dan dimanfaatkan melalui pembuatan agroforestry campuran, sedangkan hutan hanya dimanfaatkan hasil hutan non kayunya saja. Demikian pula, masyarakat Krui yang tinggal di daerah pesisir Kabupaten Lampung Barat telah melakukan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) sejak lebih 100 tahun lalu melalui pembangunan hutan damar mata kucing dengan pola agroforestry.
Pengembangan agroforestry tumbuhan obat di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur telah memberikan kontribusi pendapatan sebesar 23% dari hasil pendapatan, dan frekuensi petani masuk hutan menurun 48%. Disamping itu terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi, baik konservasi tumbuhan secara eks-situ maupun in-situ. Dari segi ekologi, program agroforestry telah mengubah semak belukar dan lahan kritis menjadi hutan tanaman yang didominasi Parkia roxburghii, Pythecelobium saman, Pangium edule, dan Aleurites moluccana.
Agroforestry yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan di Propinsi Sulawesi Selatan melalui program pendampingan, pelatihan masyarakat, dan program rehabilitasi lahan dengan mengkombinasikan tanaman hutan dan tanaman serbaguna yang biasa dikelola masyarakat, ternyata dari hasil tanaman sela telah memberikan peningkatan pendapatan masyarakat 100% sampai 300%, dan memberikan mata pencaharian baru dalam pengembangan hutan kemasyarakatan di areal 2.000 ha adalah sejumlah 53.000 HOK (Dephut, 2001).
Namun agroforestry yang dilakukan bersifat komersialisasi pada pertanian lahan kering di samping memberikan hasil positif, juga memberikan dampak negatif. Contohnya beberapa sistem agroforestry seperti "talun" di daerah Jawa Barat dengan cara menebang pohon lalu di garap menjadi kebun sayuran komersial ternyata mengeluarkan biaya yang tinggi dan menimbulkan ketergantungan terhadap ketersediaan bahan-bahan yang ada di pasar seperti pupuk kimia, obat-obatan, benih sayur, dan sebagainya. Perubahan sistem agroforestry ini juga mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh timbulnya erosi tanah dan degradasi lahan. Hal ini menyebabkan punahnya komponen-komponen penting agroforestry seperti fungsi tata air, penghasil serasah dan humus, habitat satwa liar, perlindungan varietas dan jenis tumbuhan lokal sehingga banyak tumbuhan lokal sebagai sumber pangan buahbuahan, bahan bangunan, kayu bakar, dan bahan baku obat-obatan sudah sangat langka. Di lain pihak, usaha budidaya jenis-jenis yang terancam punah tersebut sangat minim (Setyawati dan Bismark, 2002).


















BAB 1V
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan di daerah penyangga berupa pedesaan, sawah, areal pertanian, ladang, hutan rakyat, dan kebun, terma-suk pemanfaatan sumber air, waduk, dan sungai sebagai obyek wisata telah memberikan peluang ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat di daerah penyangga sekitar taman nasional.
2.      Pemanfaatan lahan dalam bentuk hutan rakyat memberikan manfaat secara ekonomis maupun ekologis bagi taman nasional dan bagi masayarakat desa hutan.
3.      Model daerah penyangga berdasarkan kondisi topografi, pengelolaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat dibagi ke dalam 3 jalur (zonasi) yaitu jalur hijau, dikelola sebagai hutan kemasyarakatan; jalur interaksi berupa agroforestry, pertanian pekarangan, desa, hutan rakyat, dan wisata alam; jalur budidaya dengan pengembangan pertanian intensif, sawah, pertanian, ladang, kebun, dan agroforestry.
4.      Pengelolaan daerah penyangga bermanfaat bagi konservasi tanah dan air, biodiversitas flora melalui konservasi eks-situ dan habitat satwa liar bernilai ekonomis.




DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan. 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan. Kuningan.

Bismark, M. 2002. Integrasi Kepentingan Konservasi dan Kebutuhan Sumber Penghasilan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Prosid. Hasil-hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan. P3HKA Bogor.

Bismark, M. dan Zuraida. 1997. Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Taman Hutan Raya Dr. Muhammad Hatta Sumatera Barat. Buletin Penelitian Hutan 608 : 61-72.

Bismark, M. 2004. Model Sosial Forestri pada Kawasan Penyangga (Buffer Zone). Lap Hasil Penelitian DIK-S DR. 2004. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Dephut. 2001. Manajemen Monitoring Program Pembangunan Hutan Kemasyarakatan. IBIC INP-22. Jakarta.

Harada, K.A., Muzakkir, M. Rahayu and Widada. 2001 Traditional People and Biodiversity Conservation in Gunung Halimun National Park. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Vol II. JICA, Bogor.

Michon, C.T. and de Foresta H. 1995. The Indonesia Agroforest Model. Forest Resource Management and Biodiversity Conervation. The Role of Traditional Agro Ecosystems. IUCN : P90-100. Dalam Agroforest Khas Indonesia, de Foresta et al., ed. 2000.

Michon, G., de Foresta H., Kusworo A. and Levang. 2000. The Damar Agroforests of Krui, Indonesia People, Plants and Justice. dalam Agroforest Khas Indonesia, de Foresta eds.

Michon, G., F. Mary dan J.M. Bonpard Zoo. 1986. Parak di Maninjau, Sumatera Barat. Dalam Agroforest Khas Indonesia. International Centre For Research In Agroforestry (2000). Hal 133-150.

Michon, G, dan F. Mary. 2000. Kebun Pepohonan Campuran di Sekitar Bogor Jawa Barat. Dalam Agroforest Khas Indonesia. International Centre For Research In Agroforestry (2000). Hal 137-172.

Pudjiharta, Ag. 1990. Evapotranspirasi Jenis Pohon Serbaguna dalam Sumberdaya Alam. Hal 117-121.

Riswan, S., M. Siregar dan I. Samsoedin 1995. Konsep Mawanati dalam Usaha Pengembangan Masyarakat Pedesaan Wamena, Irian Jaya. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Wanatani II, Bogor. Hal 110-125.

Setyawati, T. dan M. Bismark. 2002. Prioritas Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan di Indonesia. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 3 (2) : 131-144.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi Yogyakarta. Tjakrawarsa, G. dan H.Y.S. Hadi Nugroho. 2003. Nilai Ekonomi Erosi, Sedimentasi Jasa Air. Studi Kasus di Sub DAS Jeneberang Hulu. Sulsel. Alami 8 (1) : 32-38.


Thiollay, J.M. 1995. The Role of Traditional Agroforest in The Conservation of Rain Forest Birodiversity in Sumatera. Conservation Biology 9 (2) : 335-353. Universitas Kuningan, Fakultas Kehutanan. 2004. Ekosistem Kawasan Hutan Gunung Ceremai Kuningan, Jawa Barat. Kuningan.

No comments:

Post a Comment