|
|
PENDAHULUAN
Daerah penyangga berperan sangat penting bagi
kelestarian suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagai buffer
dalam mengurangi tekanan penduduk
terhadap kawasan pada daerah atau desa sekitar kawasan yang berinteraksi tinggi
dengan memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat sekitarnya.
Fungsi daerah penyangga ini dapat diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan
pemanfaatan jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat,
melalui rehabilitasi lahan kritis dalam sistem hutan kemasyarakatan, hutan
rakyat atau agroforestry. Model
pengembangan dan pengelolaannya didasarkan pada aspek ekologi, ekonomi dan
sosial budaya masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk pembagian daerah
penyangga ke dalam zonasi.
Untuk menyamakan persepsi tentang
zonasi, maka terlebih dahulu perlu disampaikan beberapa definisi tentang apa
yang dimaksud dengan zona dan zoning. Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan
karakteristik lingkungan yang spesifik. Sedangkan zoning adalah pembagian kawasan ke dalam
beberapa zona sesuai dengan fungsi dan karakteristik semula atau diarahkan bagi
pengembangan fungsi-fungsi lain.
Zonasi tersebut terbagi tiga, yaitu jalur hijau,
jalur interaksi dan jalur kawasan budidaya. Komposisi jenis tumbuhan yang
dikembangkan di masing-masing jalur disesuaikan dengan jarak dari batas
kawasan, zonasi, dan luas lahan agar tidak berdampak pada kawasan. Pengembangan
tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, obat-obatan dan perkayuan dalam sistem agroforestry
mempunyai nilai ekonomis dan ekologis
secara terpadu untuk melestarikan sumber genetika tanaman dan satwa liar serta
konservasi lahan dan air.
Program
konservasi kawasan hutan yang memiliki keanekaragaman jenis flora-fauna tinggi, sebagai habitat satwa
langka, pelestarian potensi sumber air dan daerah aliran sungai serta sumber ekonomi masyarakat desa hutan
di antaranya menambah dan
memperluas kawasan konservasi. Dengan makin meningkatnya pengembangan wilayah di luar kawasan konservasi maka perlu
penataan fungsi kawasan untuk
meningkatkan nilai dan peluang pemanfaatan kawasan untuk menunjang pembangunan. Di sisi lain adanya kepentingan
masyarakat dalam meningkatkan
kemampuan ekonominya memberi peluang pula terjadinya peningkatan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan dan fisik kawasan
secara illegal. Guna
memadukan kepentingan ekonomi masyarakat tersebut dengan kepentingan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan
ekosistemnya, diantaranya adalah membangun
daerah penyangga di luar Kawasan Pelesatarian Alam.
Menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan pelestarian
alam adalah kawasan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah penyangga merupakan wilayah
yang berada di luar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam, baik
sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang
diperlukan dan mampu menjaga keutuhan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Dengan demikian, daerah penyangga ini mempunyai fungsi yang sangat penting,
yaitu untuk mengurangi tekanan penduduk ke dalam kawasan pelestarian dan suaka
alam, memberikan kegiatan ekonomi masyarakat dan merupakan kawasan yang
memungkinkan adanya interaksi manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat
dengan kawasan konservasi.
Tekanan
terhadap kawasan yang berupa perambahan, pembukaan lahan hutan memerlukan upaya
intensifikasi pengelolaan lahan masyarakat di daerah penyangga. Tujuan
pengelolaan daerah penyangga adalah untuk meningkatkan potensi manfaat jasa
lingkungan dan nilai ekonomi lahan masyarakat, termasuk upaya merehabilitasi
lahan kritis dengan sistem hutan kemasyarakat (Hkm), hutan rakyat (HR) atau agroforestry.
|
MODEL DAERAH PENYANGGA
Pengelolaan
taman nasional, terutama dari segi pengamanan kawasan dan intervensi masyarakat
yang kurang memahami aturan yang berlaku, kepentingan ekonomi dan permasalahan
lahan yang berkembang di sekitar taman nasional menyebabkan pembangunan daerah
penyangga menjadi sangat penting. Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian
integral dari pembangunan daerah secara terpadu. Daerah penyangga merupakan
kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang
sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas
dan ekosistem taman nasional, baik sebagai asset wisata alam, penyangga
kawasan konservasi, kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan
obat-obatan.
Dalam
menetapkan dan mengelola daerah penyangga kawasan konservasi harus didasarkan
pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial
budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga memiliki nilai ekonomi yang mampu
meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan
konservasi. Oleh karena itu pembangunan kawasan konservasi, daerah penyangga,
dan ekonomi masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang dapat
menguntungkan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan partisipasi aktif
masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah penyangga kawasan konservasi. Dengan
demikian, pembangunan daerah penyangga merupakan pembangunan terpadu yang
mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan
obyektif dari masing-masing wilayah yang dibangun. Sejalan dengan itu maka
rencana pembangunan daerah penyangga dan kawasan konservasi dalam perencanaan
terpadu harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah atau daerah
sehingga setiap usaha pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Pengelolaan
daerah penyangga adalah perpaduan keserasian pengelolaan lahan hutan dan
pertanian sesuai dengan kondisi fisik kawasan untuk mendapatkan hasil optimal
guna menunjang sistem perekonomian masyarakat lokal. Untuk itu daerah penyangga
pun dibedakan penataannya atas wilayah-wilayah (zonasi). Sebagai contoh daerah
penyangga Taman Nasional Berbak Jambi dibangun berdasarkan zonasi berupa jalur
yaitu Jalur Hijau, Jalur Interaksi, dan Jalur Kawasan Budidaya (SK Gubernur
Propinsi Jambi Nomor 320 Tahun 1999) dapat menjadi model daerah penyangga taman
nasional yang dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat
dan kelestarian taman nasional.
Fungsi
jalur hijau adalah menyangga fisik kawasan dari gangguan, pengaruh jenis
eksotik tumbuhan, dan sebagai perluasan homerange satwa. Areal yang
dapat dikelola sesuai dengan fungsi di atas adalah HPH, kawasan lindung, dan
kawasan hutan lainnya yang berbatasan dengan kawasan konservasi. Fungsi jalur
interaksi adalah menyangga kawasan konservasi dan jalur hijau dari perubahan
ekosistem yang drastis, gangguan satwa liar ke kawasan budidaya, dan mendukung
peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Pengelolaan jalur interaksi dilakukan
dengan pengembangan agroforestry, dimanfaatkan secara terbatas dan
vegetasi sekunder atau areal yang ditinggalkan masyarakat dibangun menjadi
hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan yang dapat mendukung konservasi tumbuhan
yang benilai ekonomis dan ekologis.
Fungsi
kawasan budidaya daerah penyangga adalah untuk mendukung peningkatan sosial
ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dan wisata. Sedangkan pengelolaan
kawasan budidaya dilakukan pengembangan program pertanian terpadu melalui
pembukaan lahan tanpa pembakaran, pemakaian herbisida yang tidak berdampak
negatif, serta menetapkan pemukiman masyarakat desa lokasi yang tidak akan
menimbulkan dampak negatif terhadap kawasan dan masyarakat akibat satwa liar
(Setyawati dan Bismark, 2002).
Bentuk-bentuk
pengelolaan lahan di daerah penyangga yang teridentifikasi dari hasil
penelitian di Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC), Jawa Barat sebagaimana
Tabel 1 dengan komposisi pengelolaan lahan sebagaimana pada Gambar 1.
Berdasarkan
potensi yang ada, teknologi yang dimiliki, dan nilai ekonomi yang sudah
berkembang, masyarakat menjadikan model pengelolaan hutan produksi bersama
masyarakat (PHBM), hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan dengan pola agroforestry
sangat sesuai dikembangkan sebagai teknik rehabilitasi lahan kritis di
daerah penyangga TNGC. Zonasi daerah penyangga yang terdiri dari jalur hijau,
jalur interaksi, dan jalur budidaya yang tertata sebagaimana Gambar 1 perlu
pengelolaan yang intensif.
Pengelolaan
hutan dan kawasan konservasi, termasuk upaya rehabilitasi lahan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, telah memprogramkan pengembangan
hutan kemasyarakatan Kepmen No. 311/ Kpts-II/2001, tentang Penyelenggaraan
Hutan Kemasyarakatan), hutan tanaman, dan hutan rakyat dalam bentuk agroforestry.
Sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan, pelaksanaan hutan
kemasyarakatan yang dipadukan dengan model agroforestry diharapkan dapat
melestarikan hutan alam melalui peningkatan produktivitas lahan hutan di areal
masyarakat atau di lahan kritis. Program ini perlu diadakan di sekitar kawasan
konservasi seperti taman nasional dengan pengembangan model tersebut di daerah
penyangga, untuk meningkatkan kesejahteraan dan persepsi masyarakat dalam
perlindungan kawasan pelestarian alam.
Praktek
agroforestry yang dikembangkan dalam pengelolaan hutan bersama
masyarakat, melalui hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan sebenarnya telah
berkembang lama di masyarakat. Sistem tersebut merupakan pengetahuan empirik
yang dihimpun dalam kurun waktu yang panjang akibat dari ketergantungan
masyarakat terhadap hutan. Agroforestry yang dikembangkan masyarakat
petani menghasilkan hasil hutan non kayu sebagai hasil utama. Secara ekologis
berfungsi sebagai hutan alam karena stratifikasi tajuk dari perpaduan jenis
tanaman bersifat perdu dan pohon termasuk buah-buahan dan tanaman jenis pohon
yang berasal dari hutan alam (Michon dan Foresta, 1995).
Tabel 1. Komponen dan potensi
daerah penyangga TNGC
Zonasi
|
Areal
|
Potensi
|
Manfaat Ekonomi
|
Manfaat Ekologi
|
Jalur Hijau
|
Hutan dan Mata Air
|
*Fauna air
|
*Sumber pendapatan
|
*Biodiversitas
perairan
|
*Sumber air
|
*Manfaat air
|
*Pelestarian sumber
air
|
||
*Wisata alam
|
*Wisatawan dan
lapangan pekerjaan
|
*Nilai lingkungan
|
||
Kebun Raya (rencana)
|
*Koleksi tanaman
|
*Pengembangan budidaya
tanaman hutan
|
*Pelestarian
biodiversitas
|
|
*Habitat satwa
|
*Satwa bernilai
ekonomis
|
*Habitat dan populasi
satwa
|
||
*Sumber benih
|
*Hasil pembibitan
|
*Nilai jasa lingkungan
|
||
*Wisata
|
*Pendapatan dari
wisatawan
|
|
||
Hutan Rakyat/Hutan Kemasyarakatan
|
*Habitat fauna
|
*Pendapatan masyarakat
|
*Biodiversitas flora fauna
|
|
*Buah-buahan
|
*Sumber gizi
masyarakat
|
*Pelestarian sumber
air
|
||
*Pohon hutan dan
budidaya
|
*Industri kayu
|
*Habitat satwa
|
||
*Agrowisata
|
*Industri pertanian
|
*Pelestarian eks-situ
|
||
Bumi Perkemahan
|
*Tanaman pelindung
|
*Pendapatan masyarakat
dari wisatawan
|
*Nilai jasa lingkungan
|
|
*Habitat Satwa
|
*Lapangan pekerjaan
|
*Biodiversitas fauna
|
||
*Wisata
|
|
|
||
Jalur Interaksi
|
Agroforestri
|
*Buah-buahan (salak,
nangka, dan lain-lain)
|
*Sumber mata
pencaharian
|
*Budidaya
|
*Sayuran (melinjo)
|
*Tenaga kerja
|
*Pelestarian eks-situ
|
||
*Kayu
|
|
*Biodiversitas
|
||
*Pangan
|
|
|
||
Pedesaan
|
*Perumahan
|
*Peningkatan
pendapatan masyarakat
|
*Lingkungan pedesaan
|
|
*Sarana jalan
|
*Hasil buah-buahan dan
kayu
|
*Biodiversitas flora fauna
|
||
*Kebun
|
*Lapangan pekerjaan
|
*Iklim mikro, tata air
|
||
*Sawah
|
*Wisata/wisata budaya
|
*Berkurangnya
intervensi ke hutan
|
||
*Pemeliharaan ikan
|
|
*Konservasi tanah dan
air
|
||
*Industri kayu
kerajinan
|
|
|
||
*Pemanfaatan lahan
|
|
|
||
Taman Wisata Alam
|
*Wisata & ekowisata
|
*Pendapatan asli daerah
|
*Nilai jasa lingkungan
|
|
*Tanaman pelindung
|
*Lapangan pekerjaan
|
*Biodiversitas Fauna
dan flora
|
||
*Habitat satwa
|
*Pendapatan masyarakat
|
|
||
Jalur Budidaya
|
Areal Budidaya
|
*Tanaman sayuran
|
*Pendapatan masyarakat
|
*Pelestarian eks-situ
|
*Tanaman budidaya
|
*Sumber gizi
|
|
||
|
*Pendapatan daerah
|
|
Gambar 1. Model zona penyangga di
TNGC wilayah Kabupaten Kuningan: Hp = PHBM; Hkm = Hutan kemasyarakatan; Ag = Agroforestry;
Ds = Desa; Pm = Pemukiman; Pt = Pertanian; Hr = Hutan rakyat; Wa = Wisata alam;
Wi = Wisata air; Pri = Perikanan; S = Sawah; K = Kebun; dan Ht = Hutan tanaman
Sebagai
salah satu program pengelolaan hutan produksi yang melibatkan masyarakat, model
agroforestry dikembangkan di hutan produksi kawasan Gn. Ceremai yang
dikenal dengan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) sebelum kawasan
tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Perbedaan komposisi jenis tanaman dan jumlah masing-masing
tanaman di antara bentuk pengelolaan lahan dengan pola pengelolaan agroforestry
di daerah penyangga TNGC dalam beberapa sistem dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Keragaman jenis tanaman agroforestry
di Taman Nasional Gunung Ciremai
Sistem pengelolaan
|
Jumlah jenis pohon
|
Kerapatan pohon/ha
|
Komposisi jenis pohon
|
|
Kayu
|
Buah-buahan
|
|||
PHBM
|
13
|
120
|
4-7
|
3-5
|
Hutan rakyat
|
22
|
352
|
6-7
|
7-9
|
Agroforestry
|
21
|
300
|
6-7
|
5-9
|
Berdasarkan
Tabel 2, pengelolaan kawasan dengan sistem PHBM mempunyai variasi jenis pohon
lebih sedikit dan lebih mendekati hutan tanaman, sedangkan pemanfaatan lahan
dengan sistem hutan rakyat dan agroforestry memiliki jenis pohon lebih banyak
dan kerapatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
keinginan masyarakat untuk
pemanfaatan lahan dalam bentuk penanaman tanaman keras dengan sistem hutan
rakyat dan agroforestry lebih tinggi pada lahan yang luas seperti
masyarakat pedesaan sekitar Tahura Bung Hatta yang memanfaatkan ladang dan
pekarangan dengan pola agroforestry dan menanam jenis dengan manfaat
dalam porsi berbeda menurut luasan tanah (Tabel 3). Sistem ini akan dapat
memberikan nilai ekonomi sepanjang tahun terus menerus sesuai jenis dan
produktivitas tanaman yang ditanam.
Tabel
3. Luas lahan dan tanaman yang ditanam di desa sekitar Taman Hutan Raya Tahura
Bung Hatta
Penggunaan Lahan (m2)
|
Kepemilikan Lahan (%)
|
Jenis Tanaman (%)
|
|||
Pangan
|
Buah-buahan
|
Obat-obatan
|
Kayu
|
||
200
|
20,45
|
12,70
|
13,16
|
-
|
12,50
|
300-600
|
23,86
|
19,10
|
15,79
|
-
|
12,00
|
700-1.000
|
17,06
|
22,20
|
18,42
|
9,10
|
20,00
|
>1.000
|
38,63
|
46,00
|
52,63
|
90,90
|
56,00
|
Sumber
: Bismark dan
Zuraida, 1997
Masyarakat
di desa daerah penyangga Gunung Halimun, mengembangkan hutan rakyat sebagai
sumber ekonomi dengan tanaman sengon dalam pola agroforestry. Pengembangan
tanaman mahoni dan durian untuk mebel memberikan hasil kayu dengan harga jual
Rp 400.000,- - Rp 700.000,- per m³, sedangkan harga sengon Rp 80.000,- per m³.
Dalam hal ini masyarakat mengusahakan lebih banyak tanaman pohon pada jalur
hijau, buah-buahan, tanaman pangan, dan obat-obatan pada jalur interaksi,
sedangkan tanaman pakan ternak di jalur budidaya (Bismark, 2004).
Sistem
agroforestry di Sumatera Barat yang menanami lahan hutan sekunder
dengan tanaman semusim, tanaman
perdu, dan hewan ternak disebut sebagai parak. Tanaman semusim tidak
pernah dominan dan ditanam pada saat peremajaan tanaman kulit manis, pala atau
kopi di samping tanaman buah-buahaan dan kayu seperti durian, bayur, dan
surian.
|
NILAI EKOLOGIS HUTAN KEMASYARAKATAN DAERAH PENYANGGA
Secara
umum manfaat dari sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan model agroforestry
ini adalah (Michon dan Deforestra, 1995 dalam Michon dan Deforesta,
2000) :
1. Pelestarian
Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan
Kekayan
jenis dalam areal agroforestry sangat tinggi. Agroforestry yang terletak
dekat hutan alam terdapat komponen jenis tumbuhan hutan yang beragam. Agroforestry
di Krui Lampung dan di Maninjau Sumatera Barat terdapat 300 spesies
tumbuhan. Pada agroforestry banyak ditemukan tumbuhan yang membutuhkan
sinar matahari lebih banyak, seperti nangka, sukun, pulai, dan bayur.
Masyarakat
desa di Gn Halimun, Jawa Barat banyak memanfaatkan flora hutan untuk
kepentingan bangunan, sumber pakan, obat tradisional, kayu bakar, pakan ternak,
dan upacara adat sejumlah 464 jenis (Harada et al., 2001), tetapi jenis
yang umum dibudidayakan di ladang dalam tiga desa didominasi oleh 20 jenis
pohon utama yang bernilai ekonomis tinggi dan cepat tumbuh (Bismark, 2004).
Jenis pohon yang dikembangkan di antaranya adalah Maesopsis eminii, Agathis
alba, Swietenia macrophylla, Durio zibethinus, Melia azedarah,
Paraserianthes falcataria, dan Peronema canescens.
|
Gambar
2. Profil arsitektur agroforestri parak di Maninjau, Sumatera Barat
2. Sumber
Buah-buahan
Pulau
Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang memiliki keragaman tanaman sekitar 300
jenis di mana 200 jenis termasuk ke dalam tanaman budidaya, dan 50 jenis di
antaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Agroforestry di Sumatera
telah melestarikan pohon buah-buahan lebih dari 30 jenis dan di sekitar Bogor
lebih 60 jenis. Jenis yang paling dominan adalah mangga, duku, langsat, nangka,
manggis, dan jambu-jambuan. Selain itu melestarikan tumbuhan sayuran yang
berprotein tinggi seperti melinjo, petai, dan jengkol (Michon dan Mary, 2000).
Agroforestry
di Sumatera dan Kalimantan merupakan
tempat pengembangan pohon buah hutan yang terancam punah. Dengan demikian agroforestry
tidak hanya memberikan nilai ekonomi, tetapi juga memberikan nilai
pelestarian biodiversitas dan genetik, seperti kelengkeng, rambutan, dan
sekitar 20 jenis mangga (Michon dan Deforesta, 1995).
3. Sumber
Sayuran dan Obat-obatan
Tanaman
sayuran tumbuh pada stratifikasi bawah dari agroforestry di antara tanaman
pohon. Konsumsi sayuran masyarakat desa sehari-hari umumnya berasal dari agroforestry.
Di Gunung Ciremai telah dibudidayakan sayuran seperti kubis dan wortel. Selain
itu tanaman obat-obatan juga menjadi target penanaman di daerah agroforestry.
Sebagai contoh, salah satu desa kecamatan di batas TNGC menghasilkan 28 ton
jahe dan 15 ton kunir per tahun sebagai bahan rempah dan obat-obatan (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2004).
4. Sumber
Kayu
Di
daerah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun, masyarakat menanam sengon dan
mahoni, dalam 1 keluarga ada yang memiliki 700 batang pohon sengon (Bismark,
2004). Agroforestry di Sumatera Barat telah membudidayakan 40 jenis
pohon yang bernilai ekonomis (Michon dan Deforestra, 1995).
5. Habitat
Satwa Liar
Agroforestry
yang sudah tertata dengan keanekaragaman
jenis tinggi dan komposisi tajuk yang baik dapat menjadi habitat dari beberapa
jenis satwa, seperti primata, beruang, dan mamalia teresterial. Peran satwa
tersebut dapat sebagai penyebar biji-bijian yang membantu proses regenerasi dan
peningkatan keanekaragaman tumbuhan. Perbandingan keanekaragaman jenis burung
di hutan primer dan di hutan agroforestry dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Keanekaragaman jenis
burung di hutan primer dan hutan agroforestry
Jenis
|
Hutan Primer Maninjau
|
Agroforestry karet
Muara Bungo
|
Agroforestry damar
Krui
|
Agroforestry durian
Maninjau
|
Jenis Burung
|
179
|
105
|
92
|
69
|
Jenis Langka (%)
|
79,9
|
72,3
|
75
|
62,5
|
Sumber
: Thiollay,
1995
Dari
data tersebut di atas menunjukkan bahwa 25 % dari spesies burung yang ada di agroforestry
tidak dijumpai di hutan alam. Jumlah spesies mamalia yang ditemukan di agroforestry
durian 33 jenis, di hutan karet 39 jenis, dan hutan damar 46 jenis dengan
jenis yang dilindungi masing-masing 14, 15, dan 17 jenis (Michon et al., 2000).
Dengan
demikian, pengembangan hutan rakyat dengan sistem agroforestry memiliki
manfaat sebagai rehabilitasi kawasan di daerah penyangga sekitar kawasan taman
nasional sekaligus manfaat ekonomis dan ekologis untuk konservasi jenis satwa
di luar dan di dalam taman nasional (Bismark, 2002). Hal ini karena hutan
rakyat yang memiliki struktur vegetasi menyerupai hutan alam merupakan habitat
satwaliar untuk burung dan mamalia mencari pakan burung berupa biji-bijian dan serangga.
Hasil penelitian keragaman burung di TNGC dapat dilihat pada Tabel 5.
Hutan
tanaman pinus di jalur interaksi daerah penyangga TNGC dapat menjadi habitat
elang jawa yang langka. Kondisi lantai hutan yang banyak ditumbuhi tumbuhan
bawah sangat potensial untuk habitat mamalia kecil teresterial, sebagai sumber
pakan burung predator, dan habitat serangga sebagai pakan burung pemakan serangga.
6. Konservasi
Lahan dan Air
Masalah
lingkungan yang umum berkaitan dengan lahan adalah meluasnya lahan kritis dan
tingginya tingkat erosi tanah. Di Sulawesi, ladang yang berkembang seluas
10.680 ha dengan topografi 8-35% akan kehilangan unsur hara akibat erosi senilai
4,8 milyar rupiah per tahun (Tjakra Warsa dan hadi Nugroho, 2003) dan biaya
penanggulangan erosi di Jawa berkisar 347-415 juta US$ per tahun (Suripin,
2002). Sistem stratifikasi tajuk yang menyerupai hutan Tabel 5. Keragaman
burung di hutan rakyat di daerah penyangga TNGC dari segi konservasi tanah dan
air akan lebih berdampak pada pengaturan tata air dan hujan tidak langsung ke
tanah yang dapat mencegah erosi permukaan. Hal ini terlihat dari komposisi
jenis dan pola tanam, jenis pohon di ladang, dan hutan rakyat. Sebagai contoh
peran pohon dalam peresapan air seperti Calliandra callothyrsus 56%,
Parkia javanica 63,9%, dan Dalbergia latifolia 73,3% (Pudjiharta,
1990).
Tabel 5. Keragaman burung di hutan
rakyat di daerah penyangga TNGC
Jenis Burung
|
Sebaran dan Frekuensi Relatif
|
|||
Tanaman Sayuran (1 km)*
|
Tanaman kayu & pangan (3 km)*
|
Tanaman buah & kayu (5 km)*
|
Tanaman buah & perkayuan (10 km)*
|
|
Zosterops montanus
Bonaparte
|
-
|
-
|
++++
|
-
|
Halcyon chloris
Boddaert
|
++
|
-
|
+++
|
+
|
Streptopelia chinensis
Scopoli
|
-
|
-
|
++
|
-
|
Orthotomus sutorius
Pennant
|
-
|
-
|
++++
|
-
|
Prinia familiaris
Horsfield
|
-
|
-
|
++++
|
++
|
Collocalia esculenta
Linnaeus
|
+++
|
++
|
++
|
++
|
Ichtinaetus malayensis
Temminck
|
-
|
-
|
+
|
+
|
Aethopyga exemia
Horsfield
|
-
|
-
|
++
|
++
|
Padda orizyvera
|
-
|
-
|
+
|
-
|
Macropygia unchal
wagler
|
-
|
-
|
++
|
-
|
Turnix suscicator
|
-
|
-
|
++
|
-
|
Streptopelia
bitorquata
|
-
|
-
|
+
|
-
|
Pycnonotus aurigaster
Vieillot
|
+
|
++
|
+++
|
+++
|
Dendrocopos molucensis
Gmelin
|
-
|
+
|
-
|
++
|
Lonchura
leucograstroides
|
+
|
+++
|
-
|
-
|
Cocomantis
sepulchralis
|
-
|
+
|
-
|
+
|
Copsichus saularis
Linnaeus
|
-
|
+
|
-
|
+
|
Aerodramus
bravirostris Horsfield
|
+
|
++
|
-
|
++
|
Keterangan
:
++++
= Sangat sering terlihat; +++ = Sering terlihat; ++ = Kadang-kadang terlihat; +
= Jarang terlihat; * = Jarak areal tanaman dari batas kawasan
Sumber
:
Bismark, 2004
Manfaat
lain dari adanya pohon terhadap lingkungan adalah terjadinya siklus hara yang
efisien sehingga akan mendukung produktivitas lahan melalui penyuburan oleh
berkembangnya mikroba tanah. Tersedianya konsentrasi bahan organik, C, dan N
tanah dari serasah akan berpengaruh pada biomasa mikroba tanah, termasuk
mikoriza yang aktif menyerap dan menyediakan unsur mikro P, N, Zn, Cu, dan S
kepada tumbuhan inang, sehingga siklus hara pada agroforestry bersifat
efisien dan tertutup (Riswan et al., 1995).
Kawasan
Gunung Ciremai adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) dari 43 sungai untuk sumber
air irigasi, perikanan, sumber air baku bagi Perusahaan Air Minum (PAM). Dalam
kawasan juga terdapat 147 mata air yang mengalirkan air sepanjang tahun antara
50-2.000 l/dt, serta air terjun yang menjadi obyek wisata. Penelitian sebelumnya
mencatat bahwa nilai hidrologis dari Gunung Ciremai untuk sektor rumah tangga
mencapai 33,5 triyun rupiah per tahun. Suplai air untuk PDAM kota Cirebon dari
kawasan Gunung Ciremai adalah 800 l/dt, dan suplai air terbesar adalah 2.500
l/dt untuk pertanian dan perkebunan (Universitas Kuningan, 2004).
Nilai
tambah dari pelestarian sumber air dan mata air di daerah penyangga TNGC adalah
berkembangnya wisata dengan obyek wisata di waduk, sungai atau mata air. Dengan
berkembangnya tempat wisata ini masyarakat mendapat tambahan pendapatan
rata-rata Rp 100.000 per bulan per keluarga bagi keluarga yang berusaha di
bidang jasa.
Agroforestry
telah menunjukkan hasil yang positif.
Dalam kegiatan ini masyarakat dapat memanfaatkan lahan hutan untuk kegiatan
yang menghasilkan tanaman pangan di antara tanaman hutan dan pohon jenis
serbaguna. Selain itu masyarakat dapat mengembangkan teknologi budidaya mereka
melalui teknik (kearifan) lokal. Seperti pengembangan tanaman pekarangan,
kebun, pemeliharaan hutan sekunder, dan kawasan lindung sekitar desa untuk
perlindungan tata air dan mengelola hasil hutan dengan cara pemanfaatan hasil
hutan non-kayu (getah, madu, gaharu).
Masyarakat
desa Sungai Telang, Kabupaten Bungotebo, Jambi secara tidak langsung telah
melakukan konservasi keanekaragaman ekosistem melalui kegiatan agroforesty.
Penggunaan lahan seperti sawah, ladang, kebun (hutan sekunder muda), belukar
(hutan sekunder tua) di desa tersebut diolah dan dimanfaatkan melalui pembuatan
agroforestry campuran, sedangkan hutan hanya dimanfaatkan hasil hutan
non kayunya saja. Demikian pula, masyarakat Krui yang tinggal di daerah pesisir
Kabupaten Lampung Barat telah melakukan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity)
sejak lebih 100 tahun lalu melalui pembangunan hutan damar mata kucing
dengan pola agroforestry.
Pengembangan
agroforestry tumbuhan obat di daerah penyangga Taman Nasional Meru
Betiri di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur telah memberikan kontribusi
pendapatan sebesar 23% dari hasil pendapatan, dan frekuensi petani masuk hutan
menurun 48%. Disamping itu terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dalam
kegiatan konservasi, baik konservasi tumbuhan secara eks-situ maupun in-situ.
Dari segi ekologi, program agroforestry telah mengubah semak belukar
dan lahan kritis menjadi hutan tanaman yang didominasi Parkia roxburghii,
Pythecelobium saman, Pangium edule, dan Aleurites moluccana.
Agroforestry
yang dikembangkan dalam hutan
kemasyarakatan di Propinsi Sulawesi Selatan melalui program pendampingan,
pelatihan masyarakat, dan program rehabilitasi lahan dengan mengkombinasikan
tanaman hutan dan tanaman serbaguna yang biasa dikelola masyarakat, ternyata
dari hasil tanaman sela telah memberikan peningkatan pendapatan masyarakat 100%
sampai 300%, dan memberikan mata pencaharian baru dalam pengembangan hutan kemasyarakatan
di areal 2.000 ha adalah sejumlah 53.000 HOK (Dephut, 2001).
Namun
agroforestry yang dilakukan bersifat komersialisasi pada pertanian lahan
kering di samping memberikan hasil positif, juga memberikan dampak negatif. Contohnya
beberapa sistem agroforestry seperti "talun" di daerah Jawa Barat
dengan cara menebang pohon lalu di garap menjadi kebun sayuran komersial
ternyata mengeluarkan biaya yang tinggi dan menimbulkan ketergantungan terhadap
ketersediaan bahan-bahan yang ada di pasar seperti pupuk kimia, obat-obatan,
benih sayur, dan sebagainya. Perubahan sistem agroforestry ini juga
mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh timbulnya
erosi tanah dan degradasi lahan. Hal ini menyebabkan punahnya komponen-komponen
penting agroforestry seperti fungsi tata air, penghasil serasah dan
humus, habitat satwa liar, perlindungan varietas dan jenis tumbuhan lokal
sehingga banyak tumbuhan lokal sebagai sumber pangan buahbuahan, bahan bangunan,
kayu bakar, dan bahan baku obat-obatan sudah sangat langka. Di lain pihak,
usaha budidaya jenis-jenis yang terancam punah tersebut sangat minim (Setyawati
dan Bismark, 2002).
|
PENUTUP
Kesimpulan
1. Sistem
pengelolaan dan pemanfaatan lahan di daerah penyangga berupa pedesaan, sawah,
areal pertanian, ladang, hutan rakyat, dan kebun, terma-suk pemanfaatan sumber
air, waduk, dan sungai sebagai obyek wisata telah memberikan peluang ekonomi
yang cukup tinggi bagi masyarakat di daerah penyangga sekitar taman nasional.
2. Pemanfaatan
lahan dalam bentuk hutan rakyat memberikan manfaat secara ekonomis maupun
ekologis bagi taman nasional dan bagi masayarakat desa hutan.
3. Model
daerah penyangga berdasarkan kondisi topografi, pengelolaan lahan, dan sosial
ekonomi masyarakat dibagi ke dalam 3 jalur (zonasi) yaitu jalur hijau, dikelola
sebagai hutan kemasyarakatan; jalur interaksi berupa agroforestry, pertanian
pekarangan, desa, hutan rakyat, dan wisata alam; jalur budidaya dengan
pengembangan pertanian intensif, sawah, pertanian, ladang, kebun, dan agroforestry.
4. Pengelolaan
daerah penyangga bermanfaat bagi konservasi tanah dan air, biodiversitas flora
melalui konservasi eks-situ dan habitat satwa liar bernilai ekonomis.
|
Badan
Pusat Statistik Kabupaten Kuningan. 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Kuningan. Kuningan.
Bismark,
M. 2002. Integrasi Kepentingan Konservasi dan Kebutuhan Sumber Penghasilan
Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Prosid. Hasil-hasil Litbang
Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan. P3HKA Bogor.
Bismark,
M. dan Zuraida. 1997. Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat Desa Sekitar
Kawasan Taman Hutan Raya Dr. Muhammad Hatta Sumatera Barat. Buletin Penelitian
Hutan 608 : 61-72.
Bismark,
M. 2004. Model Sosial Forestri pada Kawasan Penyangga (Buffer Zone). Lap
Hasil Penelitian DIK-S DR. 2004. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam,
Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Dephut.
2001. Manajemen Monitoring Program Pembangunan Hutan Kemasyarakatan. IBIC
INP-22. Jakarta.
Harada,
K.A., Muzakkir, M. Rahayu and Widada. 2001 Traditional People and Biodiversity
Conservation in Gunung Halimun National Park. Research and Conservation of
Biodiversity in Indonesia Vol II. JICA, Bogor.
Michon,
C.T. and de Foresta H. 1995. The Indonesia Agroforest Model. Forest Resource
Management and Biodiversity Conervation. The Role of Traditional Agro
Ecosystems. IUCN : P90-100. Dalam Agroforest Khas Indonesia, de Foresta et
al., ed. 2000.
Michon,
G., de Foresta H., Kusworo A. and Levang. 2000. The Damar Agroforests of Krui,
Indonesia People, Plants and Justice. dalam Agroforest Khas Indonesia, de
Foresta eds.
Michon,
G., F. Mary dan J.M. Bonpard Zoo. 1986. Parak di Maninjau, Sumatera Barat. Dalam
Agroforest Khas Indonesia. International Centre For Research In
Agroforestry (2000). Hal 133-150.
Michon,
G, dan F. Mary. 2000. Kebun Pepohonan Campuran di Sekitar Bogor Jawa Barat. Dalam
Agroforest Khas Indonesia. International Centre For Research In Agroforestry
(2000). Hal 137-172.
Pudjiharta,
Ag. 1990. Evapotranspirasi Jenis Pohon Serbaguna dalam Sumberdaya Alam. Hal
117-121.
Riswan,
S., M. Siregar dan I. Samsoedin 1995. Konsep Mawanati dalam Usaha Pengembangan
Masyarakat Pedesaan Wamena, Irian Jaya. Dalam Prosiding Lokakarya
Nasional Wanatani II, Bogor. Hal 110-125.
Setyawati,
T. dan M. Bismark. 2002. Prioritas Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan di
Indonesia. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 3 (2) : 131-144.
Suripin.
2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi Yogyakarta. Tjakrawarsa,
G. dan H.Y.S. Hadi Nugroho. 2003. Nilai Ekonomi Erosi, Sedimentasi Jasa Air.
Studi Kasus di Sub DAS Jeneberang Hulu. Sulsel. Alami 8 (1) : 32-38.
Thiollay,
J.M. 1995. The Role of Traditional Agroforest in The Conservation of Rain
Forest Birodiversity in Sumatera. Conservation Biology 9 (2) : 335-353. Universitas
Kuningan, Fakultas Kehutanan. 2004. Ekosistem Kawasan Hutan Gunung Ceremai
Kuningan, Jawa Barat. Kuningan.
No comments:
Post a Comment