Tuesday, 21 February 2017

contoh proposal penelitian Agribisnis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Indonesia mempunyai potensi besar di sektor agribisnis.  Kekayaan sumber daya agribisnis sangat besar, agribisnis berperan sebagai mata pencaharian sebagian besar penduduk, serta agribisnis berpotensi menghasilkan pemasukan devisa bagi Negara.  Pemerintah telah bertekad menjadikan sektor agribisnis sebagai sektor unggulan.  Untuk jangka panjangnya, diharapkan sektor ini dapat menjadi lokomotif bagi stimulasi pembangunan nasional (SitusHijau. 2003).
            Dalam pembangunan nasional mendatang, pengembangan agribisnis dirasakan penting karena ; (a) prospek pasar dalam negri cukup besar (kenaikan pendapatan dan perkembangan penduduk) ; (b) meningkatkan nilai tambah sektor pertanian agar produktifitas sektor pertanian meningkat sehingga sektor pertanian tidak tertinggal dengan sektor lainnya ; (c) sebagai leading sector memenuhi empat kriteria dalam memecahkan masalah pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, yaitu memanfaatkan bahan produksi setempat (resource base), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan nilai tambah, dan penerimaan devisa ; (d) pengembangan agribisnis di Indonesia didukung oleh agroklimat dan kondisi lahan yang cukup subur, lokasi di luar zone angin taifun, keadaan sarana dan prasarana yang mendukung dan keamauan pemerintah untuk mendukung pengembangan sektor pertanian (Sutawi, 2002, hal.6).
            Pembangunan pertanian mengandung aspek mikro, makro dan global.  Aspek mikro pembangunan pertanian diharapkan sebagai proses mewujudkan kesejahteraan masyarakat tani melalui pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha taninya. 
Aspek makro pembangunan pertanian diharapkan dapat menyediakan pangan bagi masyarakat dan menyediakan input bagi kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara berkesinambungan.  Sedangkan aspek global pembangunan pertanian diharapkan dapat   menghasilkan   devisa  negara   dengan  tetap  menjaga  stabilitas  pangan  dan
kebutuhan produk pertanian lain di dalam negeri, tanpa harus mengurangi kesejahteraan riil masyarakat tani (Sumodiningrat, 2000).
            Pengalaman 30 tahun pembangunan di Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan pertanian, industri dan jasa saling terlepas dan berjalan sendiri-sendiri.  Pembangunan pertanian yang terlepas dari pembangunan industri dan jasa telah menyebabkan hal-hal yang merugikan Indonesia.  Diantaranya, industri pengolahan (agroindustri) berkembang di Indonesia, tapi bahan bakunya dari impor dan tidak (kurang) menggunakan bahan baku yang dihasilkan pertanian dalam negeri  (Saragih, 2001).
            Membangun pertanian saja akan tetap menempatkan perekonomian nasional pada perekonomian yang berbasis pertanian (agricultural based economy) yakni digerakkan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (natural resources and unskill based), dimana produk yang dihasilkan tetap produk primer.  Dengan kata lain membangun pertanian saja hanya menempatkan perekonomian Indonesia terlena menikmati keunggulan komparatif (comparative advantage) seperti selama 30 tahun terakhir.  Sedangkan membangun agribisnis adalah membangun keunggulan bersaing diatas keunggulan komparatif yakni melalui transformasi pembangunan kepada pembangunan yang digerakkan oleh modal (capital driven) dan selanjutnya digerakkan oleh inovasi (innovation driven) (Saragih, 2001).
            Agribisnis dapat dikelompokkan dalam tiga subsistem agribisnis.  Pertama, subsistem agribisnis hulu, yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off farm), seperti bio-teknologi ; industria agrokimia (pupuk, pestisida) ; alat-alat pertanian dan pakan ternak.  Kegiatan lainnya adalah kegiatan dalam pertanian  (on farm), seperti pembibitan/pembenihan, budidaya perikanan, peternakan, prkebunan, pertanian. Kedua, subsistem agribisnis hilir, yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan.  Subsistem ketiga, jasa penunjang yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang kegiatan sektor agribisnis, seperti industri pengolahan atau pengawetan, agrowisata, perdagangan atau jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan atau keuangan (Wikipedia. 2003).
            Dalam subsistem agribisnis agribisnis hilir yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan serta pada subsistem jasa penunjang yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang kegiatan sektor agribisnis, diantaranya perdagangan atau jasa.  Kedua subsistem tersebut bisa dikaitkan dengan usaha-usaha waralaba yang bergerak di bidang makanan siap saji.
     Waralaba atau franchising (dari bahasa Perancis yang berarti kejujuran atau kebebasan) adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan.  Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari cirri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa.  Menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba ialah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merk (Franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu. (Wikipedia, 2008).  
Waralaba dimaknai lebih luas, yaitu pemberi waralaba tidak hanya memperkenankan penerima waralaba untuk memakai merek/logo/hak ciptanya, akan tetapi turut pula mengatur internal perusahaan. Baik mengenai karyawan, pelatihan, lokasi, bahan baku hingga strategi pemasarannya (Sjahputra. 2005).
Jenis waralaba dapat dibagi menjadi dua, yang pertama yakni waralaba dalam negri, waralaba jenis ini menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh pemilik waralaba (Wikipedia.  2008).
Jenis waralaba yang kedua adalah, waralaba luar negri.  Waralaba jenis ini cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas, merk sudah diterima di berbagai Negara, dan dirasakan lebih bergengsi (Wikipedia. 2008).
  Perusahaan-perusahaan waralaba yang berdiri di Indonesia juga memiliki berbagai kategori usaha.  Ada yang bergerak dibidang pendidikan, bidang sosial, juga bidang perdagangan. Untuk bidang perdagangan, waralaba memiliki berbagai subjek penjualan.  Waralaba tersebut diantaranya adalah swalayan, dealer kendaraan bermotor, ataupun restoran. Perkembangan waralaba di Indonesia pada saat ini semakin hari bertambah subur, baik asing maupun lokal, seperti: Es teler, Hoka-hoka Bento, Total buah segar, Restoran Bebek Bali, serta Pizza Hut Indonesia (Sjahputra. 2005).
Di Kalimantan Selatan pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang memiliki angka tertinggi diantara kelompok barang lainnya, seperti ditunjukkan pada tabel 1.






Tabel 1.  Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan menurut kelompok barang tahun 2002, 2005 dan 2007

No.
Kelompok Barang
Tahun
2002
2005
2007
1.
Padi-padian
19.589
19.794
34.328
2.
Umbi-umbian
750
848
1.163
3.
Ikan
23.451
28.024
24.930
4.
Daging
7.932
8.875
9.303
5.
Telur dan Susu
10.944
13.027
18.946
6.
Sayur-sayuran
10.142
11.927
13.175
7.
Kacang-kacangan
2.754
2.802
3.953
8.
Buah-buahan
10.554
6.901
15.755
9.
Minyak dan Lemak
5.321
5.836
6.702
10.
Bahan Minuman
7.774
9.313
12.259
11.
Bumbu-bumbuan
4.103
4.452
5.168
12.
Konsumsi lainnya
4.619
5.717
9.471
13.
Makanan dan Minuman Jadi*
38.824
55.278
86.156
14.
Tembakau dan Sirih
16.053
15.808
27.673
Jumlah
162.810
188.602
268.979
*) =  sudah termasuk minuman yang mengandung alkohol
Sumber : BPS Banjarbaru

Dari tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa pengeluaran rata-rata perkapita tertinggi terjadi pada kelompok barang makanan dan minuman jadi yakni sebesar 38.824 pada tahun 2002, pada 2005 sebesar 55.278, dan tahun 2007 sebesar 86.156.  jumlah ini juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.  Tingginya pengeluaran rata-rata perkapita untuk kelompok makanan dan minuman jadi ini menunjukkan bahwa masyarakat di Kalimantan Selatan lebih banyak yang menggunakan jasa perusahaan-perusahaan waralaba yang bergerak di bidang makanan siap saji.
Di Banjarmasin, bisnis waralaba juga mengalami perkembangan yang sangat pesat.  Bermacam kategori perusahaan waralaba didirikan di Banjarmasin, seperti dalam data berikut
Tabel 2.  Banyaknya Usaha Menurut Kategori Lapangan Usaha dirinci Per   Kecamatan

Kategori
Kecamatan
Jumlah

Bjm Selatan
Bjm Timur
Bjm Barat
Bjm Tengah
Bjm Utara
Industri Pengolahan
7
73
9
53
1
143
Listrik, Gas dan Air

5
16
2
1
24
Konstruksi
54
119
50
54
30
307
Perdagangan Besar dan Eceran
4.759
4.601
5.900
4.498
2.858
22.616
Penyediaan akomodasi makan dan minum
1.346
1.581
1.868
2.255
735
7785
Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi
2.200
2.056
2.743
2.292
741
10.032
Perantara Keuangan
6
3
4
3
2
18
Real Estate, usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan
                4
16
10
19
3
52
Jasa Pendidikan
-
14
45
3
-
62
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
12
6
15
9
2
44
Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan, dan Perorangan Lainnya
1.047
715
711
632
334
3.439
Jasa Perorangan yang Melayani Rumah Tangga
272
313
262
230
115
1.192
Jumlah
9.707
9.502
11.633
10.050
4.822
45.714
Sumber : BPS Banjarbaru
            Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa terdapat tiga kategori usaha yang memiliki jumlah yang tergolong tinggi pada tiap kecamatan, diantaranya kategori perdagangan besar dan eceran dengan jumlah 22.616 buah; penyediaan akomodasi makan dan minum sebanyak 7785 buah; transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 10.032 buah.  Diantara ketiga kategori usaha yang memiliki jumlah yang tinggi tersebut terdapat kategori usaha penyedia akomodasi, makan dan minum.  Yang tergolong dalam kategori ini diantaranya adalah rumah penginapan, rumah makan, serta usaha-usaha yang bergerak di bidang makanan siap saji lainnya.
Perusahaan waralaba yang bergerak di bidang makanan siap saji di Banjarmasin sangat beragam.  Ada yang menawarkan sajian tradisional tapi tetap dengan konsep yang modern, ada pula yang menawarkan sajian-sajian lokal dengan konsep-konsep baru yang di buat sesuai dengan trend masyarakat saat ini.  Sajian dari luar negeri juga banyak diminati oleh masyarakat lokal.  Selain karena produk-produk yang dilempar ke pasaran memiliki konsep baru, sajian yang ditawarkan oleh pihak pewaralaba-pun jugaa disesuakan dengan selera masyarakat lokal.  Karena itulah, sajian yang ditawarkan dari perusahaan waralaba dengan merk luar negeri pun banyak diminati oleh masyarakat.
Salah satu perusahaan waralaba di bidang makanan siap saji dengan merk asing yang terdapat di Banjarmasin adalah Pizza Hut.  Pizza Hut merupakan makanan khas dari luar negeri (Italia) yang cita rasanya telah disesuaikan dengan selera masyarakat lokal.  Selain disesuaikan dengan selera konsumen, sajian ini juga tak lepas dari bahan baku yang ada pada outlet-outlet lokal.  Dengan tepung sebagai bahan baku utama pembuatan produk pizza, serta sayur dan daging sebagai bahan pelengkap produk.
Tepung terigu adalah bahan utama dalam pembuatan produk bakery dan kue, sedangkan jenis tepung lainnya yang digunakan baik sebagai bahan utama atau sebagai bahan pensubstitusi adalah tepung rye, tepung beras, tepung jagung, dll. Tepung terigu dibuat dari biji gandum yang digiling dan diayak sehingga diperoleh tepung dengan besar partikel tertentu.  Secara garis besar ada dua jenis tepung gandum yaitu tepung gandum keras (strong flour) dan tepung gandum lunak (soft flour). Tepung gandum keras biasanya digunakan untuk membuat roti dan produk-produk yang dibuat dengan melibatkan proses fermentasi serta puff pastry. Tepung terigu lunak biasanya digunakan untuk membuat biskuit dan kue (Apriyantono.  2006).
Pada pembuatan tepung gandum seringkali ditambahkan bahan-bahan aditif yang berfungsi untuk meningkatkan sifat-sifat tepung gandum yang dihasilkan. Salah satu bahan aditif yang dapat ditambahkan pada pembuatan tepung gandum yaitu L-sistein (biasanya dalam bentuk hidrokloridanya) yang berfungsi sebagai improving agent (meningkatkan sifat-sifat tepung gandum yang diinginkan). Sistein dapat melembutkan gluten (protein utama gandum yang berperan dalam pengembangan adonan yang dibuat dari tepung gandum), dengan demikian adonan tepung gandum menjadi lebih lembut. Disamping melembutkan, adanya sistein dapat mengakibatkan pengembangan adonan yang lebih besar (Apriyantono.  2006).
Selain L-sistein ternyata cukup banyak bahan aditif lain yang mungkin digunakan dalam pengolahan tepung terigu. Penambahan aditif ini disamping untuk memperbaiki sifat-sifat alami tepung terigu, khususnya sifat-sifat tepung yang sesuai dengan proses pemanggangan (misalnya memendekkan waktu penanganan dengan input energi rendah), juga untuk menjaga keseragaman mutu tepung terigu serta sesuai dengan standar yang berlaku. Penambahan asam askorbat, bromat alkali atau enzim lipoksigenase dari kedele akan meningkatkan kualitas gluten tepung gandum yang lemah, misalnya pada pembuatan roti (Apriyantono.  2006).
Dalam hal ini, adonan menjadi lebih kering, resistensi terhadap ekstensi meningkat, lebih toleran pada pencampuran dan lebih stabil selama fermentasi. Selain itu, volume adonan selama pemanggangan meningkat dan struktur crumb (bagian dalam roti) menjadi lebih baik. Penambahan enzim proteinase pada tepung terigu dapat mengakibatkan adonan yang dibuat menjadi lebih lembut. Penambahan enzim alfa-amilase dalam bentuk tepung malt atau tepung enzim hasil kerja mikroorganisme dapat meningkatkan kemampuan menghidrolisa pati yang dikandung dalam tepung terigu, dengan demikian khamir yang tumbuh pada pembuatan adonan mendapat energi yang cukup sehingga pembentukan karbon dioksida optimal dan pengembangan adonan menjadi optimal (Apriyantono.  2006).
Tepung merupakan bahan baku utama pembuatan produk pizza.  Tepung digunakan sebagai pembuat adonan pizza.  Jadi, kualitas dari produk pizza tersebut  salah satunya ditentukan oleh kualitas dari tepung itu sendiri.  Tidak hanya dari jenis atau kandungan dari tepung yang digunakan, tetapi juga lama penyimpanan bahan baku tersebut perlu diperhatikan.  Apabila tepung yang digunakan sebagai bahan baku produk pizza tersebut terlalu lama berada di  store, maka berpengaruh pula terhadap kualitas produk yang dihasilkan.  Karena itu, bahan baku yang tersedia untuk satu kali produksi harus efisien agar kualitas produk tetap terjaga, serta pemilik usaha tidak akan kehilangan pelanggan dan tetap mendapat keuntungan yang maksimal.  Karena itu, untuk mengidentifikasi manajemen persediaan bahan baku tersebut perlu kiranya dilakukan penelitian.

Tujuan dan Kegunaan

            Penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Mengidentifikasi manajemen persediaan bahan baku utama produk pizza yang ada pada outlet Pizza Hut Banjarmasin.
2.      Menganalisis jumlah atau kuantitas pemesanan yang ekonomis untuk bahan baku utama produk pizza pada outlet Pizza Hut Banjarmasin.
3.      Menganalisis pembelian atau saat pemesanan kembali (Re Order Point) untuk bahan baku utama produk pizza agar persediaan pengamanan tidak terganggu.
4.      Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan persediaan bahan baku utama produk pizza.


            Sedangkan penelitian ini diharapkan berguna bagi pengusaha sebagai bahan informasi dan evaluasi dalam melaksanakan usaha waralabanya, selain itu juga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk pengembangan agribisnis terutama untuk usaha waralaba di masa yang akan datang.
















 

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

                Pentingnya manajemen paling jelas terlihat dalam kasus di banyak negara yang belum berkembang atau yang sedang berkembang.  Peninjauan oleh ahli-ahli  pengembangan perekonomian mengenai masalah ini pada tahun-tahun terakhir telah memperlihatkan bahwa perlengkapan modal atau teknologi tidak menjamin adanya pembangunan.  Faktor penghambat pada hampir semua kasus adalah kurangnya mutu dan semangat pihak manajer ( Koontz, O’Donnell dan Weihrich, 1996, hal. 8).
            Menurut Koontz dan O’donnel, manajemen adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain.  Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian (Amirullah, 2002, hal.3).  Jadi, dapat dikatakan bahwa manajemen adalah suatu proses ( Budi Sutedjo, 2002, hal. 2).
            Sebagai suatu proses kegiatan, manajemen diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari kegiatan merencanakan, melaksanakan serta mengkoordinasikan kegiatan yang direncanakan dan diorganisasikan tersebut sampai dengan kegiatan mengawasi atau mengendalikan kegiatan yang dilaksanakan agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan.  Manajemen sebagai proses lebih ditekankan pada proses mengelola dan mengatur pelaksanaan suatu pekerjaan atau rangkaian aktivitas dengan proses mana pelaksana itu diselenggarakan dan diawasi (Amirullah, 2002, hal.3).
       Pada umumnya manajemen dibagi menjadi beberapa fungsi manajemen, yaitu merencanakan, mengkoordinasikan, mengawasi dan pengendalian kegiatan dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien (Amirullah, 2002, hal 9).
1.        Perencanaan
Perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai dan mengambil langkah-langkah strategis guna mencapai tujuan tersebut.
2.        Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan proses pemberian perintah, pengalokasian sumber daya serta pengaturan kegiatan secara terkoordinir kepada setiap individu dan kelompok untuk menerapkan rencana.  Kegiatan-kegiatan yang terlibat dalam pengorganisasian mencakup tiga kegiatan yaitu : (1) membagi komponen-komponen kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam kelompok-kelompok ; (2) membagi tugas kepada manajer dan bawahan untuk mengadakan pengelompokan tersebut ; (3) menetapkan wewenang diantara kelompok atau unit-unit organisasi.
3.        Pengarahan
Pengarahan adalah proses untuk menumbuhkan semangat (motivation) pada karyawan agar dapat bekerja keras dan giat serta membimbing mereka dalam melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien.
4.        Pengendalian
Pengendalian dimaksudkan untuk melihat apakah kegiatan organisasi sudah sesuai dengan rencana sebelumnya.  Fungsi pengendalian mencakup empat kegiatan ; (1) menentukan standar prestasi ; (2) mengukur prestasi yang telah dicapai selama ini ; (3) membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan standar prestasi ; dan (4) melakukan perbaikan jika terdapat penyimpangan dari standar prestasi yang telah ditetapkan.
Peranan manajemen dalam pelaksanaan sistem produksi dan opersai adalah agar dicapainya tujuan yang diharapkan perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa dalam jumlah yang ditetapkan dengan kualitas yang ditentukan dan dalam waktu yang direncanakan dengan biiaya yang serendah mungkin.  Untuk itu, manajemen produksi dan operasi berusaha mengombinasikan dan mengolah faktor-faktor produksi dengan teknik pengelolaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat dihasilkan barang dan jasa secara efektif dan efisien, baik dalam jumlah, kualitas atau mutu, waktu dan biaya yang diharapkan.  Dengan teknik manajemen produksi dan operasi yang tepat, diharapkan perusahaan dapat mencapai tujuannya yaitu dapat tetap terjamin kelangsungan hidupnya dan berkembang, melalui keuntungan perusahaan yang diperoleh (Assauri.  1999. hal.2).  Dalam manajemen produksi dan operasi ini tercakup pula tentang manajemen tenaga kerja, menejemen sarana produksi serta manajemen persediaan bahan baku.
Persediaan didefinisikan sebagai barang yang disimpan untuk digunakan atau dijual pada periode mendatang.  Persediaan dapat berbentuk bahan baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang dalam proses pada proses manufaktur dan barang jadi yang disimpan untuk dijual.  Persediaan memegang peranan penting agar perusahaan dapat berjalan dengan baik (Kusuma, 2001, hal. 131).
Istilah persediaan (inventory) adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber daya-sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan.  Permintaan akan sumber daya mungkin internal ataupun eksternal.  Ini meliputi persediaan bahan mentah, barang dalam proses, barang jadi atau produk akhir, bahan-bahan pembantu/pelengkap, dan komponen-komponen lain yang menjadi bagian keluaran produk perusahaan.  Jenis persediaan ini sering disebut dengan istilah persediaan keluaran produk (product output), dimana hampir semua orang mengidentifikasikan secara cepat sebagai persediaan, tetapi pengertian persediaan tidak hanya dibatasi pada hal tersebut.  Banyak organisasi juga menyimpan jenis persediaan lain, seperti uang, ruangan fisik (bangunan pabrik), peralatan dan tenaga kerja, untuk memenuhi permintaan akan produk dan jasa.  Sumber daya-sumber daya ini sering dapat dikendalikan lebih efektif melalui penggunaan berbagai sistem dan model manajemen persediaan (Handoko, 2000, hal.333).

Jenis-jenis persediaan menurut fungsinya antara lain (Rangkuti, 2002, hal.7) :
1.    Batch Stock/Lot Size Inventory (Persediaan   yaitu persediaan yang diadakan karena kita membeli atau membuat bahan-bahan atau barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan saat itu.  Keuntungannya antara lain efisiensi produksi, penghematan biaya angkutan serta potongan harga pada harga pembelian.
2.    Fluctuation Stock, yaitu persediaan yang diperlukan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan.
3.    Anticipation Stock, yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi yang dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang terdapat dalam satu tahun dan untuk menghadapi penggunaan atau penjualan atau permintaan yang meningkat.
Menurut jenisnya, persediaan dapat dibedakan atas  (Handoko, 2000, hal.334):
1.    Persediaan bahan mentah (Raw Materials), yaitu persediaan barang-barang berujud-seperti sayuran, buah-buahan  dan komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi.  Bahan mentah dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari para supplier dan atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya.
2.    Persediaan-persediaan komponen rakitan (Purchased Parts/Components), yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk.
3.    Persediaan bahan pembantu atau penolong (Supplies), yaitu persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.
4.    Persediaan barang dalam proses (Work In Process), yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
5.    Persediaan barang jadi (Finished Goods), yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau dikirim kepada langganan.
Persoalan persediaan (Inventory Problem) yang timbul ialah bagaimana caranya mengatur persediaan sehingga setiap kali ada permintaan, permintaan tersebut segera dapat dilayani.  Akan tetapi jumlah biaya persediaan harus minimum atau sekecil mungkin.  Sebetulnya kalau persediaan cukup banyak, setiap saat permintaan dapat dilayani akan tetapi, biaya untuk menyimpan barang tersebut menjadi sangat mahal (Supranto, 1988, hal.361).
Biaya persediaan merupakan keseluruhan biaya operasi atas system persediaan.  Biaya persediaan didasarkan pada parameter ekonomis yang relevan dengan jenis biaya sebagai berikut (Yamit, 2003, hal.9) :


1.    Biaya Pembelian
Biaya pembelian adalah harga per unit apabila item dibeli dari pihak luar, atau biaya produksi per unit apabila diproduksi dalam perusahaan.
2.    Biaya Pemesanan
Biaya pemesanan adalah biaya yang berasal dari pembelian pesanan dari supplier atau biaya persiapan (Setup Cost) apabila item diproduksi di dalam perusahaan.
3.    Biaya Simpan
Biaya simpan adalah biaya yang dikeluarkan atas investasi dalam persediaan dan pemeliharaan maupun investasi sarana fisik untuk menyimpan persediaan.
4.    Biaya Kekurangan Persediaan
Adalah konsekuensi ekonomis atas kekurangan dari luar maupun dari dalam perusahaan.  Kekurangan dari luar terjadi apabila pesanan konsumen tidak dapat dipenuhi sedangkan kekurangan dari dalam terjadi apabila departemen tidak dapat memenuhi kebutuhan departemen lain.
Metode yang dapat digunakan untuk menilai persediaan berdasarkan aliran biaya dapat diklasifikasikan dalam empat metode, yaitu (Yamit, 2003, hal. 199) :
1.    FIFO (First In First Out)
Metode FIFO atau masuk pertama keluar pertama, banyak digunakan oleh perusahaan khususnya untuk kepentingan internal.  Dengan metode FIFO, biaya persediaan dihitung berdasarkan asumsi bahwa barang akan dijual atau dipakai sendiri dan sisa dalam persediaan menunjukkan pembelian atau produksi yang terakhir.  Persediaan akhir dari metode FIFO ditaksir secara teliti (hati-hati) berdasarkan nilai aktual saat ini.  Metode FIFO lebih mudah dan cocok dengan operasi berbagai macam perusahaan dan mudah menyesuaikan dengan system kontinyus maupun sistem periodik.
2.    LIFO (Last In First Out)
Seperti halnya dengan metode FIFO, metode LIFO dapat pula digunakan untuk sistem persediaan periodik maupun kontinyus.
3.    Biaya Rata-rata (Average Cost)
Dalam usaha untuk mempermudah pemahaman tentang kombinasi harga pokok penjualan dan nilai persediaan akhir, metode rata-rata yang digunakan.  Metode ini tidak mudah untuk menentukan berapa unit yang harus keluar pertama dan berapa unit yang harus keluar terakhir, tetapi keduanya ditentukan berdasarkan biaya rata-rata untuk setiap item selama periode waktu tertentu.
4.    Biaya Khusus (Specific Cost)
Semua aliran persediaan mengasumsikan bahwa, metode biaya khusus lebih realistic dalam menilai persediaan akhir dan harga pokok penjualan.  Jumlah setiap item yang masuk dalam persediaan adalah biaya nyata yang dapat dilihat. 
                Jumlah pemesanan yang ekonomis (Economic Order Quantity = EOQ) yaitu jumlah yang dipesan hendaknya menghasilkan biaya-biaya yang minimal dalam persediaan.  Untuk itu dilakukan usaha-usaha untuk memperkecil biaya pemesanan (Ordering cost) dan biaya penyimpanan (carrying cost) (Rangkuti, 2002, hal. 9).
                Anggapan-anggapan yang mendasari perhitungan EOQ (Economic Order Quantity) : (Supriono, 1999, hal 396).
1. Selama periode yang bersangkutan tingkat harga konstan, baik harga beli bahan maupun harga biaya pemesanan dan penyimpanan.
2.  Setiap saat akan diadakan pembelian selalu tersedia dana.
3.  Pemakaian bahan relatif stabil dari waktu ke waktu selama periode bersangkutan.
4.  Bahan yang bersangkutan selalu tersedia dipasar setiap saat akan dibeli.
5.  Fasilitas penyimpanan selalu tersedia berapa kalipun pembelian akan diadakan.
6.  Bahan yang bersangkutan tidak mudah rusak dalam penyimpanan.
7.  Tidak ada kehendak manajemen untuk berspekulasi.
            Hampir semua pabrik selalu memerlukan persediaan barang, baik bahan mentah maupun bahan jadi.  Dapat dikatakan bahwa persediaan merupakan aktiva yang meliputi barang-barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode produksi, atau persediaan barang yang masih dalam proses produksi atau bahan baku yang menunggu penggunaannya dalam proses produksi (Sumarni dan Soeprihanto, 1997, hal. 203).
            Pada hakekatnya persediaan akan dapat memperlancar operasi perusahaan sehari-hari, terutama bagi perusahaan yang jauh dari lokasi bahan baku dan jauh dari konsumen.

            Persediaan yang diadakan mulai dari bentuk bahan mentah sampai barang jadi, antara lain berguna untuk dapat : (Rangkuti, 2002, hal. 2).
1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan.
2.  Menghilangkan resiko dari materi yang dipesan kualitasnya kurang baik, sehingga harus dikembalikan.
3. Mengantisipasi bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga dapat digunakan bila bahan itu tidak ada dalam pasaran.
4. Membuat pengadaan atau produksi tidak perlu sesuai dengan penjualan atau penjualnya.
5.   Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan atau menjamin kelancaran arus produksi.
6.   Mencapai penggunaan mesin yang optimal.
7.   Memberikan pelayanan kepada langganan dengan sebaik-baiknya pada setiap saat.
            Pengendalian persediaan disini bertujuan mengatur persediaan agar mencapai jumlah optimal yakni tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil.  Persediaan yang terlalu besar kurang menguntungkan sebab dana yang tertanam dalam persediaan merupakan dana yang menganggur, akibatnya perusahaan harus mengeluarkan biaya modal ; dapat menimbulkan kerusakan pada bahan yang disimpan; serta perusahaan harus mengeluarkan sejumlah biaya penyimpanan yang besar, seperti asuransi bahan, sewa gudang, dan biaya pemeliharaan.
Dilain pihak jika persediaan terlalu kecil bisa mengakibatkan terganggunya proses produksi sehingga produk akan terlambat sampai ke tangan konsumen, sehingga keuntungan dapat hilang.  Selanjutnya, terlalu sering dilakukan pemesanan bahan sehingga perusahaan harus banyak mengeluarkan biaya pemesanan.
            Dalam perencanaan dan pengendalian bahan yang menjadi masalah utama adalah menyelenggarakan persediaan bahan yang paling tepat, agar kegiatan produksi tidak terganggu dan dana yang ditanamkan dalam persediaan  bahan tidak berlebihan. Masalah  tersebut berpengaruh terhadap penentuan berapa kuantitas yang akan dibeli dalam periode akuntansi tertentu, berapa jumlah atau kuantitas bahan yang dibeli setiap kali dilakukan pembelian, serta kapan pemesanan bahan harus dilakukan dan berapa jumlah minimum kuantitas bahan yang selalu ada dalam persediaan agar perusahaan terhindar dari masalah-masalah persediaan agar dana yang tertanam tidak berlebihan (Supriono, 1999, hal 388).
                Model EOQ merupakan cara pendekatan dalam analisis persediaan yang telah dikenal luas bahkan dikatakan sebagai cara pendekatan tertua.  Model ini digunakan oleh perusahaan yang memperoleh bahan melalui pesanan terlebih dahulu yang tidak dapat dilakukan setiap saat.  Adapun dasar keputusan dalam model pendekatan ini yaitu : (Riyanto, 1990, hal. 81).
1.  Berapa jumlah bahan mentah yang harus dipesan pada saat bahan tersebut perlu dibeli kembali.
2.  Kapan perlu dilakukan pembelian kembali (re order point).
            Jumlah pemesanan yang paling ekonomis yang berarti meminimumkan biaya total persediaan dapat dicari dengan cara : (Ahyari, 1986, hal. 272-273).
         ………………………………..   (1)              
Keterangan :
TIC      :  Total biaya persediaan (Total inventory cost)
P          :  Biaya pemesanan setiap kali pesan
C         :  Biaya penyimpanan per unit
Q         :  Kuantitas bahan baku setiap pembelian
R         :  Penggunaan bahan selama satu periode
            Q akan optimal apabila TIC mencapai nilai minimal.  Hal ini akan dapat dicapai apabila turunan pertama dari TIC tersebut terhadap variabel Q adalah sama dengan nol.  Dengan demikian perhitungannya adalah menjadi sebagai berikut :
 
 = Economic Order Quantity = EOQ  ………………..  (2)

            Elemen yang mempengaruhi harga perolehan bahan adalah sebagai berikut (Supriyono.  1999. hal. 389) :
1.   Harga faktur termasuk biaya angkut dari setiap satuan (cost per unit) bahan yang dibeli.
2. Biaya pemesanan atau disebut procurement cost atau set-up cost atau ordering cost adalah biaya yang terjadi dalam rangka melaksanakan kegiatan pemesanan bahan. Atas dasar tingkat variabilitasnya biaya pemesanan dapat dikelompokkan menjadi:
      a.  Biaya pemesanan tetap, yaitu biaya pemesanan yang besarnya tetap sama     dalam periode tertentu tidak dipengaruhi oleh frekuensi pemesanan,    misalnya :  gaji bagian pembelian, biaya penyusutan aktiva tetap bagian       pembelian, dan lain-lain biaya tetap untuk pemesanan.
      b. Biaya pemesanan variabel, yaitu biaya pemesanan yang jumlah totalnya        berubah-ubah secara proposional dengan frekuensi pemesanan.  Semakin   tinggi (sering) frekuensi pemesanan berakibat total biaya pemesanan variabel      jumlahnya tinggi, semakin rendah (jarang) frekuensi pemesanan semakin     rendah pula biaya pemesanan variabel yang termasuk  biaya pemesanan      variabel misalnya :
            -  Biaya  pembuatan  dan   pengiriman   dokumen  permintaan   pembelian,                         pesanan pembelian.
            - Biaya pembuatan laporan penerimaan bahan dan pemeriksaan kuantitas                             dan kualitas.
            -  Biaya penerimaan bahan yang dipesan.
           -    Biaya pencatatan hutang dan mempersiapkan pembayaran atas pembelian bahan.
            -  Lain-lain biaya pemesanan. 
                  Menurut Ahyari, semakin sering perusahaan yang bersangkutan tersebut mengadakan pemesanan bahan, maka biaya pemesanan ini akan semakin besar pula.  Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa biaya pemesanan ini merupakan biaya yang jumlahnya semakin besar apabila frekuensi pemesanan bahan semakin tinggi.  Hal yang terkait di dalam biaya pemesanan ini adalah frekuensi pemesanannya saja, dan bukannya jumlah unit yang dipesan di dalam pemesanan yang dilaksanakan tersebut.  Dengan demikian yang akan diperhitungkan di dalam biaya pemesanan ini adalah berapa kali pemesanan dilaksanakan, berapapun jumlah unit yang dipesan pada setiap kali pemesanan tersebut.  Beberapa contoh dari biaya pemesanan antara lain adalah :
      -  Biaya persiapan pembelian
      -  Biaya pembuatan faktur
      -  Biaya expedisi dan administrasi
      -  Biaya bongkar bahan yang diperhitungkan untuk setiap kali pembelian
      - Biaya-biaya pemesanan lain yang terkait dengan frekuensi pembelian
      (Ahyari, 1986, hal. 261).
2. Biaya penyimpanan (carrying cost) adalah biaya yang terjadi dalam rangka melaksanakan kegiatan penyimpanan bahan.  Atas dasar tingkat variabilitasnya biaya penyimpanan dapat dikelompokkan menjadi : (Supriono, 1999, hal. 391).
      a. Biaya penyimpanan tetap, yaitu biaya penyimpanan bahan yang jumlah         totalnya tidak dipengaruhi jumlah atau besarnya bahan yang disimpan di     gudang, misalnya: biaya penyusutan gudang, gaji karyawan tetap bagian        gudang.
b.   Biaya penyimpanan variabel, yaitu biaya penyimpanan bahan yang jumlah totalnya berubah-ubah secara proporsional dengan jumlah atau besarnya bahan       yang disimpan.  Semakin besar bahan yang disimpan berakibat semakin besar          pula biaya penyimpanan variabel, semakin kecil bahan yang disimpan berakibat semakin kecil pula biaya penyimpanan variabel. Yang termasuk biaya penyimpanan variabel misalnya biaya sewa gudang, biaya asuransi bahan, biaya administrasi gudang, biaya atas rusak dan usangnya bahan, dan lain-lain biaya penyimpanan variabel.
Dengan demikian jumlah dari  biaya penyimpanan untuk perhitungan kuantiĆ­tas pembelian optimal ini akan terkait langsung dengan jumlah unit bahan baku yang disimpan di dalam perusahaan yang bersangkutan tersebut.  Semakin besar bahan jumlah unit bahan baku yang disimpan di dalam perusahaan, maka jumlah biaya penyimpanan ini akan semakin tinggi apabila unit yang disimpan semakin besar berapapun frekuensi pembelian dilaksanakan.  Beberapa contoh dari biaya penyimpanan ini antara lain biaya simpan bahan, biaya asuransi bahan, biaya kerusakan bahan dalam penyimpanan, biaya pemeliharaan bahan, biaya pengepakan kembali, biaya modal untuk investasi bahan, biaya kerugian penyimpanan, biaya sewa gudang per satuan unit bahan, serta resiko tidak terpakainya bahan karena usang. Biaya-biaya lain yang terkait dengan jumlah bahan yang disimpan dalam perusahaan yang bersangkutan (Ahyari, 1986, hal. 262).
                        Menurut Supriyono, faktor yang menentukan berapa kali dan berapa jumlah setiap kali pembelian bahan adalah biaya pemesanan variabel dan biaya penyimpanan variabel. Kedua macam biaya ini meskipun kedua-duanya bersifat variabel mempunyai hubungan yang berbanding terbalik, semakin tinggi frekuensi pemesanan akan berakibat biaya pemesanan variabel yang semakin tinggi tetapi berakibat pada biaya penyimpanan variabel yang semakin rendah karena rata-rata bahan yang disimpan semakin rendah, semakin rendah frekuensi pemesanan berakibat biaya pemesanan variabel rendah tetapi biaya penyimpanan variabel tinggi karena rata-rata bahan yang disimpan semakin tinggi (Supriono, 1994, hal 391).
            Agar pembelian bahan yang sudah ditetapkan dalam EOQ tidak mengganggu kelancaran kegiatan produksi, maka perlu ditentukan waktu pemesanan kembali atas bahan yang paling tepat.  Faktor-faktor yang mempengaruhi pemesanan kembali adalah : (R.A Supriono, 1994, hal 397).
1.  Waktu yang diperlukan dari saat pemesanan sampai bahan datang di perusahaan (lead time).  Lead time ini akan mempengaruhi besarnya bahan yang dipakai selama lead time, semakin lama lead time semakin besar pula jumlah bahan yang diperlukan untuk pemakaian selama lead time.
2.   Tingkat pemakaian bahan rata-rata per hari atau satuan waktu lainnya.  Besarnya bahan yang diperlukan selama lead time adalah jumlah hari lead time dikalikan tingkat pemakaian bahan rata-rata.
3.   Persediaan penyelamat (safety stock).  Persediaan besi bahan adalah jumlah keterlambatan datangnya bahan yang dibeli agar perusahaan tidak mengalami “stock out”  atau  mengalami  gangguan   kelancaran   kegiatan   produksi   karena
      habisnya bahan yang umumnya menimbulkan elemen biaya stock out.  Untuk menentukan besarnya persediaan besi dapat dipakai metode statistik, atau metode penaksiran langsung.




            Selanjutnya, Supriyono merumuskan Re Order Point sebagai berikut : (Supriono, 1999, hal 398).
ROP  =  (LT  x  AU)  +  SS
Dimana :
ROP       : Re Order Point, menunjukkan tingkat persediaan bahan dimana perusahaan   harus memesan bahan.
LT          :   Lead time, tenggang waktu antara pemesanan sampai kedatangan bahan.
AU         :   Average usage, pemakaian rata-rata dalam satuan waktu tertentu.
SS          :   Safety stock, tingkat atau besarnya persediaan penyelamat.
                Ada dua asumsi yang digunakan dalam analisis ROP yaitu : (Alwi, 1984, hal. 93), yang pertama yakni tingkat penggunaan persediaan selama lead time adalah konstan dan yang kedua pesanan tiba pada saatnya.
           Dua asumsi ini dalam prakteknya sering tidak terpenuhi.  Perusahaan kadang kala menerima pesanan yang mendadak dalam jumlah besar sehingga penggunaan material meningkat.  Jika hal ini terjadi selama lead time, sedangkan persediaan ditangan tidak cukup untuk menanggulangi kenaikan tersebut, perusahaan akan mengalami kehabisan persediaan.  Begitu pula jika supplier mengalami kesulitan dalam pengiriman pesanan, sehingga bahan yang dipesan diterima tidak tepat pada waktunya.  Oleh sebab itu safety stock sebagai persediaan ekstra diperlukan untuk melindungi perusahaan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.
                       



METODE PENELITIAN

    Tempat dan Waktu Penelitian

            Penelitian ini dilaksanakan pada outlet Pizza Hut Banjarmasin, yang beralamatkan di Jalan Jendral A.Yani Km 3.5 No.218 Banjarmasin.  Sedangkan waktu yang diperlukan untuk penelitian ini dimulai dari bulan April sampai Juli 2008,  yaitu mulai dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data sampai dengan tahapan penyusunan laporan.

Data dan Sumber Data

            Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.  Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan manajer, asisten manajer, shift leader ataupun store keeper dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disediakan.  Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari dinas dan instansi terkait yang ada relevansinya dengan penelitian ini, serta literatur-literatur yang ada hubungannya dengan penelitian ini.








Pembatasan Masalah

1.   Data yang dianalisis hanya data untuk periode satu tahun terakhir yaitu Januari            2007 sampai Desember 2007.
2.    Jenis bahan baku utama produk pizza yang dianalisis hanya bahan baku tepung yang merupakan bahan baku untuk pembuatan adonan produk pizza.

Analisis Data

            Data yang terkumpul diolah secara tabulasi dan selanjutnya dianalisis.  Untuk mengetahui tujuan pertama yakni jumlah/kuantitas pemesanan bahan baku yang ekonomis adalah dengan menggunakan analisis Economic Order Quantity (EOQ) :
     
      Dimana :
      EOQA   :  Jumlah/kuantitas pemesanan sayur yang ekonomis setiap kali pesan
      P            :  Biaya pemesanan bahan baku tepung setiap kali pesan
      R            :  Penggunaan bahan baku tepung selama satu periode
      C             :  Biaya penyimpanan bahan baku tepung per unit



            Selanjutnya untuk mengetahui tujuan penelitian yang kedua yakni menentukan saat pemesanan kembali (Re Order Point) sehingga bahan baku sayur  selalu         tersedia di gudang, yang dapat dihitung dengan rumus :
      ROPA  =  (LT  x  AU)  +  SS
      Dimana   :
      ROPA     :  Re  Order  Point, menunjukkan tingkat persediaan bahan baku tepung                 dimana  perusahaan harus memesan bahan baku tepung.
      LT          :   Lead time, tenggang waktu antara pemesanan sampai kedatangan                           bahan baku tepung.
      AU         : Average usage, pemakaian rata-rata bahan baku tepung dalam satuan  waktu tertentu.
      SS           :  Safety stock, tingkat atau besarnya persediaan bahan baku tepung penyelamat.

            Selanjutnya untuk mengetahui tujuan yang ketiga mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan persediaan bahan baku utama produk pizza yaitu dengan analisis deskriptif yaitu membuat pertanyaan-pertanyaan baik dalam bentuk kuesioner maupun secara langsung bertanya kepada pihak outlet Pizza Hut Banjarmasin.

No comments:

Post a Comment