PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam
pembangunan nasional mendatang, pengembangan agribisnis dirasakan penting
karena ; (a) prospek pasar dalam negri cukup besar (kenaikan pendapatan dan
perkembangan penduduk) ; (b) meningkatkan nilai tambah sektor pertanian agar
produktifitas sektor pertanian meningkat sehingga sektor pertanian tidak
tertinggal dengan sektor lainnya ; (c) sebagai leading sector memenuhi
empat kriteria dalam memecahkan masalah pembangunan ekonomi Indonesia secara
keseluruhan, yaitu memanfaatkan bahan produksi setempat (resource base),
penciptaan kesempatan kerja, peningkatan nilai tambah, dan penerimaan devisa ;
(d) pengembangan agribisnis di Indonesia didukung oleh agroklimat dan kondisi
lahan yang cukup subur, lokasi di luar zone angin taifun, keadaan sarana dan
prasarana yang mendukung dan keamauan pemerintah untuk mendukung pengembangan
sektor pertanian (Sutawi, 2002, hal.6).
Pembangunan
pertanian mengandung aspek mikro, makro dan global. Aspek mikro pembangunan pertanian diharapkan
sebagai proses mewujudkan kesejahteraan masyarakat tani melalui pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan usaha taninya.
Aspek makro pembangunan pertanian diharapkan dapat menyediakan
pangan bagi masyarakat dan menyediakan input
bagi kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara berkesinambungan. Sedangkan aspek global pembangunan pertanian
diharapkan dapat menghasilkan devisa negara dengan tetap menjaga
stabilitas pangan dan
kebutuhan produk pertanian lain di dalam negeri, tanpa harus
mengurangi kesejahteraan riil masyarakat tani (Sumodiningrat, 2000).
Pengalaman 30 tahun
pembangunan di Indonesia
menunjukkan bahwa perkembangan pertanian, industri dan jasa saling terlepas dan
berjalan sendiri-sendiri. Pembangunan
pertanian yang terlepas dari pembangunan industri dan jasa telah menyebabkan
hal-hal yang merugikan Indonesia . Diantaranya, industri pengolahan (agroindustri)
berkembang di Indonesia ,
tapi bahan bakunya dari impor dan tidak (kurang) menggunakan bahan baku yang dihasilkan
pertanian dalam negeri (Saragih, 2001).
Membangun pertanian saja akan
tetap menempatkan perekonomian nasional pada perekonomian yang berbasis
pertanian (agricultural based economy)
yakni digerakkan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (natural resources and unskill based),
dimana produk yang dihasilkan tetap produk primer. Dengan kata lain membangun pertanian saja
hanya menempatkan perekonomian Indonesia terlena menikmati keunggulan
komparatif (comparative advantage)
seperti selama 30 tahun terakhir.
Sedangkan membangun agribisnis adalah membangun keunggulan bersaing
diatas keunggulan komparatif yakni melalui transformasi pembangunan kepada
pembangunan yang digerakkan oleh modal (capital
driven) dan selanjutnya digerakkan oleh inovasi (innovation driven) (Saragih, 2001).
Agribisnis
dapat dikelompokkan dalam tiga subsistem agribisnis. Pertama, subsistem agribisnis hulu, yang
meliputi kegiatan di luar pertanian (off farm), seperti bio-teknologi ;
industria agrokimia (pupuk, pestisida) ; alat-alat pertanian dan pakan
ternak. Kegiatan lainnya adalah kegiatan
dalam pertanian (on farm),
seperti pembibitan/pembenihan, budidaya perikanan, peternakan, prkebunan,
pertanian. Kedua, subsistem agribisnis hilir, yang meliputi kegiatan pengolahan
hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri
bukan makanan. Subsistem ketiga, jasa
penunjang yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang kegiatan sektor
agribisnis, seperti industri pengolahan atau pengawetan, agrowisata, perdagangan
atau jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan atau keuangan (Wikipedia. 2003).
Dalam subsistem
agribisnis agribisnis hilir yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi
sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan
serta pada subsistem jasa penunjang yang meliputi kegiatan-kegiatan yang
menunjang kegiatan sektor agribisnis, diantaranya perdagangan atau jasa. Kedua subsistem tersebut bisa dikaitkan
dengan usaha-usaha waralaba yang bergerak di bidang makanan siap saji.
Waralaba
atau franchising (dari bahasa Perancis yang berarti kejujuran atau
kebebasan) adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun
layanan. Sedangkan menurut versi
pemerintah Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba adalah perikatan dimana
salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari
kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari cirri khas usaha yang dimiliki
pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh
pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan
jasa. Menurut Asosiasi Franchise
Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba ialah suatu sistem pendistribusian
barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merk (Franchisor)
memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan
merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu. (Wikipedia,
2008).
Waralaba dimaknai lebih luas, yaitu pemberi waralaba tidak hanya
memperkenankan penerima waralaba untuk memakai merek/logo/hak ciptanya, akan
tetapi turut pula mengatur internal perusahaan. Baik mengenai karyawan, pelatihan,
lokasi, bahan baku
hingga strategi pemasarannya (Sjahputra. 2005).
Jenis waralaba dapat dibagi menjadi dua, yang pertama
yakni waralaba dalam negri, waralaba jenis ini menjadi salah satu pilihan
investasi untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak
memiliki pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan
oleh pemilik waralaba (Wikipedia. 2008).
Jenis waralaba yang kedua adalah, waralaba
luar negri. Waralaba jenis ini cenderung
lebih disukai karena sistemnya lebih jelas, merk sudah diterima di berbagai Negara,
dan dirasakan lebih bergengsi (Wikipedia. 2008).
Perusahaan-perusahaan waralaba yang berdiri
di Indonesia
juga memiliki berbagai kategori usaha. Ada yang bergerak dibidang
pendidikan, bidang sosial, juga bidang perdagangan. Untuk bidang perdagangan,
waralaba memiliki berbagai subjek penjualan.
Waralaba tersebut diantaranya adalah swalayan, dealer kendaraan
bermotor, ataupun restoran. Perkembangan waralaba di Indonesia
pada saat ini semakin hari bertambah subur, baik asing maupun lokal, seperti:
Es teler, Hoka-hoka Bento, Total buah segar, Restoran Bebek Bali, serta Pizza
Hut Indonesia
(Sjahputra. 2005).
Di Kalimantan Selatan
pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang memiliki angka
tertinggi diantara kelompok barang lainnya, seperti ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan
menurut kelompok barang tahun 2002, 2005 dan 2007
No.
|
Kelompok Barang
|
Tahun
|
||
2002
|
2005
|
2007
|
||
1.
|
Padi-padian
|
19.589
|
19.794
|
34.328
|
2.
|
Umbi-umbian
|
750
|
848
|
1.163
|
3.
|
Ikan
|
23.451
|
28.024
|
24.930
|
4.
|
Daging
|
7.932
|
8.875
|
9.303
|
5.
|
Telur dan Susu
|
10.944
|
13.027
|
18.946
|
6.
|
Sayur-sayuran
|
10.142
|
11.927
|
13.175
|
7.
|
Kacang-kacangan
|
2.754
|
2.802
|
3.953
|
8.
|
Buah-buahan
|
10.554
|
6.901
|
15.755
|
9.
|
Minyak dan Lemak
|
5.321
|
5.836
|
6.702
|
10.
|
Bahan Minuman
|
7.774
|
9.313
|
12.259
|
11.
|
Bumbu-bumbuan
|
4.103
|
4.452
|
5.168
|
12.
|
Konsumsi lainnya
|
4.619
|
5.717
|
9.471
|
13.
|
Makanan dan Minuman Jadi*
|
38.824
|
55.278
|
86.156
|
14.
|
Tembakau dan Sirih
|
16.053
|
15.808
|
27.673
|
Jumlah
|
162.810
|
188.602
|
268.979
|
*) = sudah
termasuk minuman yang mengandung alkohol
Sumber : BPS Banjarbaru
Dari tabel 1 tersebut
dapat dilihat bahwa pengeluaran rata-rata perkapita tertinggi terjadi pada
kelompok barang makanan dan minuman jadi yakni sebesar 38.824 pada tahun 2002,
pada 2005 sebesar 55.278, dan tahun 2007 sebesar 86.156. jumlah ini juga mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Tingginya pengeluaran
rata-rata perkapita untuk kelompok makanan dan minuman jadi ini menunjukkan
bahwa masyarakat di Kalimantan Selatan lebih banyak yang menggunakan jasa perusahaan-perusahaan
waralaba yang bergerak di bidang makanan siap saji.
Di Banjarmasin, bisnis
waralaba juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bermacam kategori perusahaan waralaba
didirikan di Banjarmasin ,
seperti dalam data berikut
Tabel 2. Banyaknya Usaha Menurut Kategori Lapangan
Usaha dirinci Per Kecamatan
Kategori
|
Kecamatan
|
Jumlah
|
||||
Bjm Selatan
|
Bjm Timur
|
Bjm Barat
|
Bjm Tengah
|
Bjm Utara
|
||
Industri Pengolahan
|
7
|
73
|
9
|
53
|
1
|
143
|
Listrik, Gas dan Air
|
|
5
|
16
|
2
|
1
|
24
|
Konstruksi
|
54
|
119
|
50
|
54
|
30
|
307
|
Perdagangan Besar dan Eceran
|
4.759
|
4.601
|
5.900
|
4.498
|
2.858
|
22.616
|
Penyediaan akomodasi
makan dan minum
|
1.346
|
1.581
|
1.868
|
2.255
|
735
|
7785
|
Transportasi, Pergudangan,
dan Komunikasi
|
2.200
|
2.056
|
2.743
|
2.292
|
741
|
10.032
|
Perantara Keuangan
|
6
|
3
|
4
|
3
|
2
|
18
|
Real
Estate, usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan
|
4
|
16
|
10
|
19
|
3
|
52
|
Jasa Pendidikan
|
-
|
14
|
45
|
3
|
-
|
62
|
Jasa
Kesehatan dan Kegiatan Sosial
|
12
|
6
|
15
|
9
|
2
|
44
|
Jasa
Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan, dan Perorangan Lainnya
|
1.047
|
715
|
711
|
632
|
334
|
3.439
|
Jasa Perorangan yang Melayani
Rumah Tangga
|
272
|
313
|
262
|
230
|
115
|
1.192
|
Jumlah
|
9.707
|
9.502
|
11.633
|
10.050
|
4.822
|
45.714
|
Sumber : BPS
Banjarbaru
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa terdapat
tiga kategori usaha yang memiliki jumlah yang tergolong tinggi pada tiap
kecamatan, diantaranya kategori perdagangan besar dan eceran dengan jumlah 22.616
buah; penyediaan akomodasi makan dan minum sebanyak 7785 buah; transportasi,
pergudangan dan komunikasi sebesar 10.032 buah.
Diantara ketiga kategori usaha yang memiliki jumlah yang tinggi tersebut
terdapat kategori usaha penyedia akomodasi, makan dan minum. Yang tergolong dalam kategori ini diantaranya
adalah rumah penginapan, rumah makan, serta usaha-usaha yang bergerak di bidang
makanan siap saji lainnya.
Perusahaan waralaba yang bergerak di bidang makanan siap saji di
Banjarmasin sangat beragam. Ada yang
menawarkan sajian tradisional tapi tetap dengan konsep yang modern, ada pula
yang menawarkan sajian-sajian lokal dengan konsep-konsep baru yang di buat
sesuai dengan trend masyarakat saat ini.
Sajian dari luar negeri juga banyak diminati oleh masyarakat lokal. Selain karena produk-produk yang dilempar ke
pasaran memiliki konsep baru, sajian yang ditawarkan oleh pihak pewaralaba-pun
jugaa disesuakan dengan selera masyarakat lokal. Karena itulah, sajian yang ditawarkan dari
perusahaan waralaba dengan merk luar negeri pun banyak diminati oleh
masyarakat.
Salah satu perusahaan waralaba di bidang makanan siap saji dengan merk
asing yang terdapat di Banjarmasin adalah Pizza Hut. Pizza Hut merupakan makanan khas dari luar
negeri (Italia) yang cita rasanya telah disesuaikan dengan selera masyarakat
lokal. Selain disesuaikan dengan selera
konsumen, sajian ini juga tak lepas dari bahan baku yang ada pada outlet-outlet
lokal. Dengan tepung sebagai bahan baku
utama pembuatan produk pizza, serta sayur dan daging sebagai bahan pelengkap
produk.
Tepung terigu adalah bahan utama dalam pembuatan produk bakery dan kue,
sedangkan jenis tepung lainnya yang digunakan baik sebagai bahan utama atau
sebagai bahan pensubstitusi adalah tepung rye, tepung beras, tepung jagung,
dll. Tepung terigu dibuat dari biji gandum yang digiling dan diayak sehingga
diperoleh tepung dengan besar partikel tertentu. Secara garis besar ada dua jenis tepung
gandum yaitu tepung gandum keras (strong
flour) dan tepung gandum lunak (soft
flour). Tepung gandum keras biasanya digunakan untuk membuat roti dan
produk-produk yang dibuat dengan melibatkan proses fermentasi serta puff pastry. Tepung terigu lunak
biasanya digunakan untuk membuat biskuit dan kue (Apriyantono. 2006).
Pada pembuatan tepung gandum seringkali ditambahkan bahan-bahan aditif yang
berfungsi untuk meningkatkan sifat-sifat tepung gandum yang dihasilkan. Salah
satu bahan aditif yang dapat ditambahkan pada pembuatan tepung gandum yaitu L-sistein (biasanya dalam bentuk
hidrokloridanya) yang berfungsi sebagai improving
agent (meningkatkan sifat-sifat tepung gandum yang diinginkan). Sistein dapat melembutkan gluten (protein utama gandum yang
berperan dalam pengembangan adonan yang dibuat dari tepung gandum), dengan
demikian adonan tepung gandum menjadi lebih lembut. Disamping melembutkan,
adanya sistein dapat mengakibatkan pengembangan adonan yang lebih besar
(Apriyantono. 2006).
Selain L-sistein ternyata cukup
banyak bahan aditif lain yang mungkin digunakan dalam pengolahan tepung terigu.
Penambahan aditif ini disamping untuk memperbaiki
sifat-sifat alami tepung terigu, khususnya sifat-sifat tepung yang sesuai
dengan proses pemanggangan (misalnya memendekkan waktu penanganan dengan input
energi rendah), juga untuk menjaga keseragaman mutu tepung terigu serta sesuai
dengan standar yang berlaku. Penambahan asam
askorbat, bromat alkali atau enzim
lipoksigenase dari kedele akan meningkatkan kualitas gluten tepung gandum yang lemah, misalnya pada pembuatan roti (Apriyantono. 2006).
Dalam hal ini,
adonan menjadi lebih kering, resistensi terhadap ekstensi meningkat, lebih
toleran pada pencampuran dan lebih stabil selama fermentasi. Selain itu, volume
adonan selama pemanggangan meningkat dan struktur crumb (bagian dalam roti) menjadi lebih baik. Penambahan enzim proteinase pada tepung terigu
dapat mengakibatkan adonan yang dibuat menjadi lebih lembut. Penambahan enzim alfa-amilase dalam bentuk tepung malt atau tepung enzim hasil kerja
mikroorganisme dapat meningkatkan kemampuan menghidrolisa pati yang dikandung
dalam tepung terigu, dengan demikian khamir
yang tumbuh pada pembuatan adonan mendapat energi yang cukup sehingga
pembentukan karbon dioksida optimal dan pengembangan adonan menjadi optimal (Apriyantono. 2006).
Tepung merupakan bahan baku utama pembuatan produk pizza. Tepung digunakan sebagai pembuat adonan
pizza. Jadi, kualitas dari produk pizza
tersebut salah satunya ditentukan oleh
kualitas dari tepung itu sendiri. Tidak
hanya dari jenis atau kandungan dari tepung yang digunakan, tetapi juga lama
penyimpanan bahan baku tersebut perlu diperhatikan. Apabila tepung yang digunakan sebagai bahan
baku produk pizza tersebut terlalu lama berada di store, maka
berpengaruh pula terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Karena itu, bahan baku yang tersedia untuk
satu kali produksi harus efisien agar kualitas produk tetap terjaga, serta
pemilik usaha tidak akan kehilangan pelanggan dan tetap mendapat keuntungan
yang maksimal. Karena itu, untuk
mengidentifikasi manajemen persediaan bahan baku tersebut perlu kiranya
dilakukan penelitian.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi manajemen persediaan bahan baku utama produk pizza
yang ada pada outlet Pizza Hut Banjarmasin.
2. Menganalisis jumlah atau kuantitas
pemesanan yang ekonomis untuk bahan baku utama produk pizza pada outlet Pizza
Hut Banjarmasin.
3. Menganalisis pembelian atau saat pemesanan
kembali (Re Order Point) untuk bahan
baku utama produk pizza agar persediaan pengamanan tidak terganggu.
4. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan
yang dihadapi dalam penyelenggaraan persediaan bahan baku utama produk pizza.
Sedangkan penelitian ini diharapkan
berguna bagi pengusaha sebagai bahan informasi dan evaluasi dalam melaksanakan
usaha waralabanya, selain itu juga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
pemerintah untuk pengembangan agribisnis terutama untuk usaha waralaba di masa yang
akan datang.
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Pentingnya
manajemen paling jelas terlihat dalam kasus di banyak negara yang belum
berkembang atau yang sedang berkembang.
Peninjauan oleh ahli-ahli
pengembangan perekonomian mengenai masalah ini pada tahun-tahun terakhir
telah memperlihatkan bahwa perlengkapan modal atau teknologi tidak menjamin
adanya pembangunan. Faktor penghambat
pada hampir semua kasus adalah kurangnya mutu dan semangat pihak manajer (
Koontz, O’Donnell dan Weihrich, 1996, hal. 8).
Menurut Koontz dan O’donnel, manajemen
adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi
atas sejumlah aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan dan pengendalian (Amirullah, 2002, hal.3). Jadi, dapat dikatakan bahwa manajemen adalah
suatu proses ( Budi Sutedjo, 2002, hal. 2).
Sebagai suatu proses kegiatan, manajemen
diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari kegiatan
merencanakan, melaksanakan serta mengkoordinasikan kegiatan yang direncanakan
dan diorganisasikan tersebut sampai dengan kegiatan mengawasi atau
mengendalikan kegiatan yang dilaksanakan agar sesuai dengan apa yang telah
direncanakan. Manajemen sebagai proses
lebih ditekankan pada proses mengelola dan mengatur pelaksanaan suatu pekerjaan
atau rangkaian aktivitas dengan proses mana pelaksana itu diselenggarakan dan
diawasi (Amirullah, 2002, hal.3).
Pada umumnya manajemen dibagi
menjadi beberapa fungsi manajemen, yaitu merencanakan, mengkoordinasikan,
mengawasi dan pengendalian kegiatan dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan
yang diinginkan secara efektif dan efisien (Amirullah, 2002, hal 9).
1.
Perencanaan
Perencanaan
dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan tujuan serta sasaran yang
ingin dicapai dan mengambil langkah-langkah strategis guna mencapai tujuan
tersebut.
2.
Pengorganisasian
Pengorganisasian
merupakan proses pemberian perintah, pengalokasian sumber daya serta pengaturan
kegiatan secara terkoordinir kepada setiap individu dan kelompok untuk
menerapkan rencana. Kegiatan-kegiatan
yang terlibat dalam pengorganisasian mencakup tiga kegiatan yaitu : (1) membagi
komponen-komponen kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan sasaran
dalam kelompok-kelompok ; (2) membagi tugas kepada manajer dan bawahan untuk
mengadakan pengelompokan tersebut ; (3) menetapkan wewenang diantara kelompok
atau unit-unit organisasi.
3.
Pengarahan
Pengarahan
adalah proses untuk menumbuhkan semangat (motivation) pada karyawan agar
dapat bekerja keras dan giat serta membimbing mereka dalam melaksanakan rencana
untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien.
4.
Pengendalian
Pengendalian
dimaksudkan untuk melihat apakah kegiatan organisasi sudah sesuai dengan
rencana sebelumnya. Fungsi pengendalian
mencakup empat kegiatan ; (1) menentukan standar prestasi ; (2) mengukur
prestasi yang telah dicapai selama ini ; (3) membandingkan prestasi yang telah
dicapai dengan standar prestasi ; dan (4) melakukan perbaikan jika terdapat
penyimpangan dari standar prestasi yang telah ditetapkan.
Peranan
manajemen dalam pelaksanaan sistem produksi dan opersai adalah agar dicapainya
tujuan yang diharapkan perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa dalam
jumlah yang ditetapkan dengan kualitas yang ditentukan dan dalam waktu yang
direncanakan dengan biiaya yang serendah mungkin. Untuk itu, manajemen produksi dan operasi
berusaha mengombinasikan dan mengolah faktor-faktor produksi dengan teknik
pengelolaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat dihasilkan barang dan jasa
secara efektif dan efisien, baik dalam jumlah, kualitas atau mutu, waktu dan
biaya yang diharapkan. Dengan teknik
manajemen produksi dan operasi yang tepat, diharapkan perusahaan dapat mencapai
tujuannya yaitu dapat tetap terjamin kelangsungan hidupnya dan berkembang,
melalui keuntungan perusahaan yang diperoleh (Assauri. 1999. hal.2).
Dalam manajemen produksi dan operasi ini tercakup pula tentang manajemen
tenaga kerja, menejemen sarana produksi serta manajemen persediaan bahan baku.
Persediaan
didefinisikan sebagai barang yang disimpan untuk digunakan atau dijual pada
periode mendatang. Persediaan dapat
berbentuk bahan baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses,
barang dalam proses pada proses manufaktur dan barang jadi yang disimpan untuk
dijual. Persediaan memegang peranan
penting agar perusahaan dapat berjalan dengan baik (Kusuma, 2001, hal. 131).
Istilah
persediaan (inventory) adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala
sesuatu atau sumber daya-sumber daya organisasi yang disimpan dalam
antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan.
Permintaan akan sumber daya mungkin internal ataupun eksternal. Ini meliputi persediaan bahan mentah, barang
dalam proses, barang jadi atau produk akhir, bahan-bahan pembantu/pelengkap,
dan komponen-komponen lain yang menjadi bagian keluaran produk perusahaan. Jenis persediaan ini sering disebut dengan
istilah persediaan keluaran produk (product output), dimana hampir semua
orang mengidentifikasikan secara cepat sebagai persediaan, tetapi pengertian
persediaan tidak hanya dibatasi pada hal tersebut. Banyak organisasi juga menyimpan jenis persediaan
lain, seperti uang, ruangan fisik (bangunan pabrik), peralatan dan tenaga kerja,
untuk memenuhi permintaan akan produk dan jasa.
Sumber daya-sumber daya ini sering dapat dikendalikan lebih efektif
melalui penggunaan berbagai sistem dan model manajemen persediaan (Handoko,
2000, hal.333).
Jenis-jenis
persediaan menurut fungsinya antara lain (Rangkuti, 2002, hal.7) :
1.
Batch Stock/Lot Size
Inventory (Persediaan yaitu
persediaan yang diadakan karena kita membeli atau membuat bahan-bahan atau
barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan saat
itu. Keuntungannya antara lain efisiensi
produksi, penghematan biaya angkutan serta potongan harga pada harga pembelian.
2.
Fluctuation Stock, yaitu persediaan yang diperlukan untuk menghadapi fluktuasi
permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan.
3.
Anticipation Stock, yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi yang
dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang terdapat dalam satu tahun dan
untuk menghadapi penggunaan atau penjualan atau permintaan yang meningkat.
Menurut jenisnya, persediaan dapat
dibedakan atas (Handoko, 2000, hal.334):
1. Persediaan bahan mentah (Raw Materials), yaitu persediaan
barang-barang berujud-seperti sayuran, buah-buahan dan komponen-komponen lainnya yang digunakan
dalam proses produksi. Bahan mentah
dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari para supplier dan atau
dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi
selanjutnya.
2. Persediaan-persediaan komponen rakitan (Purchased
Parts/Components), yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari
komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung
dapat dirakit menjadi suatu produk.
3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (Supplies), yaitu
persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak
merupakan bagian atau komponen barang jadi.
4. Persediaan barang dalam proses (Work In Process), yaitu
persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam
proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu
diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
5. Persediaan barang jadi (Finished Goods), yaitu persediaan
barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap
untuk dijual atau dikirim kepada langganan.
Persoalan persediaan
(Inventory Problem) yang timbul ialah bagaimana caranya mengatur
persediaan sehingga setiap kali ada permintaan, permintaan tersebut segera
dapat dilayani. Akan tetapi jumlah biaya
persediaan harus minimum atau sekecil mungkin.
Sebetulnya kalau persediaan cukup banyak, setiap saat permintaan dapat
dilayani akan tetapi, biaya untuk menyimpan barang tersebut menjadi sangat
mahal (Supranto, 1988, hal.361).
Biaya persediaan
merupakan keseluruhan biaya operasi atas system persediaan. Biaya persediaan didasarkan pada parameter
ekonomis yang relevan dengan jenis biaya sebagai berikut (Yamit, 2003, hal.9) :
1. Biaya Pembelian
Biaya pembelian
adalah harga per unit apabila item dibeli dari pihak luar, atau biaya produksi
per unit apabila diproduksi dalam perusahaan.
2. Biaya Pemesanan
Biaya pemesanan
adalah biaya yang berasal dari pembelian pesanan dari supplier atau biaya
persiapan (Setup Cost) apabila item diproduksi di dalam perusahaan.
3. Biaya Simpan
Biaya simpan adalah
biaya yang dikeluarkan atas investasi dalam persediaan dan pemeliharaan maupun
investasi sarana fisik untuk menyimpan persediaan.
4. Biaya Kekurangan Persediaan
Adalah konsekuensi
ekonomis atas kekurangan dari luar maupun dari dalam perusahaan. Kekurangan dari luar terjadi apabila pesanan
konsumen tidak dapat dipenuhi sedangkan kekurangan dari dalam terjadi apabila
departemen tidak dapat memenuhi kebutuhan departemen lain.
Metode yang dapat
digunakan untuk menilai persediaan berdasarkan aliran biaya dapat
diklasifikasikan dalam empat metode, yaitu (Yamit, 2003, hal. 199) :
1. FIFO (First In First Out)
Metode FIFO atau
masuk pertama keluar pertama, banyak digunakan oleh perusahaan khususnya untuk
kepentingan internal. Dengan metode
FIFO, biaya persediaan dihitung berdasarkan asumsi bahwa barang akan dijual
atau dipakai sendiri dan sisa dalam persediaan menunjukkan pembelian atau
produksi yang terakhir. Persediaan akhir
dari metode FIFO ditaksir secara teliti (hati-hati) berdasarkan nilai aktual
saat ini. Metode FIFO lebih mudah dan
cocok dengan operasi berbagai macam perusahaan dan mudah menyesuaikan dengan
system kontinyus maupun sistem periodik.
2. LIFO (Last In First Out)
Seperti halnya
dengan metode FIFO, metode LIFO dapat pula digunakan untuk sistem persediaan
periodik maupun kontinyus.
3. Biaya Rata-rata (Average Cost)
Dalam usaha untuk
mempermudah pemahaman tentang kombinasi harga pokok penjualan dan nilai
persediaan akhir, metode rata-rata yang digunakan. Metode ini tidak mudah untuk menentukan
berapa unit yang harus keluar pertama dan berapa unit yang harus keluar
terakhir, tetapi keduanya ditentukan berdasarkan biaya rata-rata untuk setiap
item selama periode waktu tertentu.
4. Biaya Khusus (Specific Cost)
Semua aliran
persediaan mengasumsikan bahwa, metode biaya khusus lebih realistic dalam
menilai persediaan akhir dan harga pokok penjualan. Jumlah setiap item yang masuk dalam
persediaan adalah biaya nyata yang dapat dilihat.
Jumlah pemesanan yang ekonomis (Economic Order Quantity = EOQ) yaitu jumlah yang dipesan hendaknya
menghasilkan biaya-biaya yang minimal dalam persediaan. Untuk itu dilakukan usaha-usaha untuk
memperkecil biaya pemesanan (Ordering
cost) dan biaya penyimpanan (carrying
cost) (Rangkuti, 2002, hal. 9).
Anggapan-anggapan yang mendasari perhitungan EOQ (Economic Order Quantity) : (Supriono,
1999, hal 396).
1. Selama periode
yang bersangkutan tingkat harga konstan, baik harga beli bahan maupun harga
biaya pemesanan dan penyimpanan.
2. Setiap saat akan diadakan
pembelian selalu tersedia dana.
3. Pemakaian bahan relatif stabil
dari waktu ke waktu selama periode bersangkutan.
4. Bahan yang bersangkutan selalu
tersedia dipasar setiap saat akan dibeli.
5. Fasilitas penyimpanan selalu
tersedia berapa kalipun pembelian akan diadakan.
6. Bahan yang bersangkutan tidak
mudah rusak dalam penyimpanan.
7. Tidak ada kehendak manajemen
untuk berspekulasi.
Hampir semua pabrik selalu memerlukan persediaan barang, baik
bahan mentah maupun bahan jadi. Dapat
dikatakan bahwa persediaan merupakan aktiva yang meliputi barang-barang milik
perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode produksi, atau
persediaan barang yang masih dalam proses produksi atau bahan baku yang
menunggu penggunaannya dalam proses produksi (Sumarni dan Soeprihanto, 1997,
hal. 203).
Pada hakekatnya persediaan
akan dapat memperlancar operasi perusahaan sehari-hari, terutama bagi
perusahaan yang jauh dari lokasi bahan baku dan jauh dari konsumen.
Persediaan
yang diadakan mulai dari bentuk bahan mentah sampai barang jadi, antara lain
berguna untuk dapat : (Rangkuti, 2002, hal. 2).
1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan
yang dibutuhkan perusahaan.
2. Menghilangkan resiko dari materi
yang dipesan kualitasnya kurang baik, sehingga harus dikembalikan.
3. Mengantisipasi bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga dapat
digunakan bila bahan itu tidak ada dalam pasaran.
4. Membuat pengadaan atau produksi tidak perlu sesuai dengan penjualan atau
penjualnya.
5. Mempertahankan
stabilitas operasi perusahaan atau menjamin kelancaran arus produksi.
6. Mencapai penggunaan mesin yang
optimal.
7. Memberikan
pelayanan kepada langganan dengan sebaik-baiknya pada setiap saat.
Pengendalian persediaan
disini bertujuan mengatur persediaan agar mencapai jumlah optimal yakni tidak
terlalu besar maupun tidak terlalu kecil.
Persediaan yang terlalu besar kurang menguntungkan sebab dana yang
tertanam dalam persediaan merupakan dana yang menganggur, akibatnya perusahaan
harus mengeluarkan biaya modal ; dapat menimbulkan kerusakan pada bahan yang
disimpan; serta perusahaan harus mengeluarkan sejumlah biaya penyimpanan yang
besar, seperti asuransi bahan, sewa gudang, dan biaya pemeliharaan.
Dilain pihak
jika persediaan terlalu kecil bisa mengakibatkan terganggunya proses produksi
sehingga produk akan terlambat sampai ke tangan konsumen, sehingga keuntungan
dapat hilang. Selanjutnya, terlalu
sering dilakukan pemesanan bahan sehingga perusahaan harus banyak mengeluarkan
biaya pemesanan.
Dalam perencanaan dan
pengendalian bahan yang menjadi masalah utama adalah menyelenggarakan
persediaan bahan yang paling tepat, agar kegiatan produksi tidak terganggu dan dana
yang ditanamkan dalam persediaan bahan
tidak berlebihan. Masalah tersebut berpengaruh
terhadap penentuan berapa kuantitas yang akan dibeli dalam periode akuntansi
tertentu, berapa jumlah atau kuantitas bahan yang dibeli setiap kali dilakukan
pembelian, serta kapan pemesanan bahan harus dilakukan dan berapa jumlah
minimum kuantitas bahan yang selalu ada dalam persediaan agar perusahaan
terhindar dari masalah-masalah persediaan agar dana yang tertanam tidak
berlebihan (Supriono, 1999, hal 388).
Model EOQ
merupakan cara pendekatan dalam analisis persediaan yang telah dikenal luas
bahkan dikatakan sebagai cara pendekatan tertua. Model ini digunakan oleh perusahaan yang
memperoleh bahan melalui pesanan terlebih dahulu yang tidak dapat dilakukan
setiap saat. Adapun dasar
keputusan dalam model pendekatan ini yaitu : (Riyanto, 1990, hal. 81).
1. Berapa jumlah bahan mentah yang
harus dipesan pada saat bahan tersebut perlu dibeli kembali.
2. Kapan perlu dilakukan pembelian
kembali (re order point).
Jumlah pemesanan yang paling
ekonomis yang berarti meminimumkan biaya total persediaan dapat dicari dengan
cara : (Ahyari, 1986, hal. 272-273).
……………………………….. (1)
Keterangan :
TIC : Total biaya persediaan (Total inventory cost)
P : Biaya pemesanan setiap kali pesan
C : Biaya penyimpanan per unit
Q : Kuantitas bahan baku setiap pembelian
R : Penggunaan bahan selama satu periode
Q akan optimal apabila TIC
mencapai nilai minimal. Hal ini akan
dapat dicapai apabila turunan pertama dari TIC tersebut terhadap variabel Q
adalah sama dengan nol. Dengan demikian perhitungannya adalah
menjadi sebagai berikut :
= Economic Order Quantity = EOQ
……………….. (2)
Elemen yang mempengaruhi
harga perolehan bahan adalah sebagai berikut (Supriyono. 1999. hal. 389) :
1. Harga faktur termasuk biaya angkut dari
setiap satuan (cost per unit) bahan
yang dibeli.
2. Biaya pemesanan atau disebut procurement
cost atau set-up cost atau ordering cost adalah biaya yang terjadi
dalam rangka melaksanakan kegiatan pemesanan bahan. Atas dasar tingkat
variabilitasnya biaya pemesanan dapat dikelompokkan menjadi:
a. Biaya pemesanan tetap, yaitu biaya pemesanan
yang besarnya tetap sama dalam periode tertentu tidak dipengaruhi oleh
frekuensi pemesanan, misalnya : gaji bagian pembelian, biaya penyusutan
aktiva tetap bagian pembelian, dan
lain-lain biaya tetap untuk pemesanan.
b. Biaya pemesanan variabel,
yaitu biaya pemesanan yang jumlah totalnya berubah-ubah
secara proposional dengan frekuensi
pemesanan. Semakin tinggi (sering) frekuensi pemesanan berakibat total biaya pemesanan variabel jumlahnya tinggi, semakin rendah (jarang)
frekuensi pemesanan semakin rendah
pula biaya pemesanan variabel yang termasuk
biaya pemesanan variabel
misalnya :
-
Biaya pembuatan dan pengiriman
dokumen permintaan pembelian, pesanan
pembelian.
- Biaya pembuatan laporan penerimaan bahan
dan pemeriksaan kuantitas dan kualitas.
- Biaya penerimaan bahan yang dipesan.
- Biaya pencatatan hutang dan
mempersiapkan pembayaran atas pembelian bahan.
- Lain-lain biaya pemesanan.
Menurut
Ahyari, semakin sering perusahaan yang bersangkutan tersebut mengadakan
pemesanan bahan, maka biaya pemesanan ini akan semakin besar pula. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa biaya
pemesanan ini merupakan biaya yang jumlahnya semakin besar apabila frekuensi
pemesanan bahan semakin tinggi. Hal yang
terkait di dalam biaya pemesanan ini adalah frekuensi pemesanannya saja, dan
bukannya jumlah unit yang dipesan di dalam pemesanan yang dilaksanakan
tersebut. Dengan demikian yang akan
diperhitungkan di dalam biaya pemesanan ini adalah berapa kali pemesanan
dilaksanakan, berapapun jumlah unit yang dipesan pada setiap kali pemesanan
tersebut. Beberapa contoh dari biaya pemesanan antara
lain adalah :
-
Biaya persiapan pembelian
-
Biaya pembuatan faktur
- Biaya expedisi dan administrasi
- Biaya bongkar bahan yang diperhitungkan untuk
setiap kali pembelian
-
Biaya-biaya pemesanan lain yang terkait dengan frekuensi pembelian
(Ahyari, 1986, hal. 261).
2. Biaya penyimpanan (carrying cost) adalah biaya yang terjadi dalam rangka melaksanakan
kegiatan penyimpanan bahan. Atas dasar
tingkat variabilitasnya biaya penyimpanan dapat dikelompokkan menjadi :
(Supriono, 1999, hal. 391).
a. Biaya
penyimpanan tetap, yaitu biaya penyimpanan bahan yang jumlah totalnya tidak dipengaruhi jumlah atau
besarnya bahan yang disimpan di gudang,
misalnya: biaya penyusutan gudang, gaji karyawan tetap bagian gudang.
b. Biaya
penyimpanan variabel, yaitu biaya penyimpanan bahan yang jumlah totalnya
berubah-ubah secara proporsional dengan jumlah atau besarnya bahan yang disimpan. Semakin besar bahan yang disimpan berakibat
semakin besar pula biaya
penyimpanan variabel, semakin kecil bahan yang disimpan berakibat semakin kecil
pula biaya penyimpanan variabel. Yang termasuk biaya penyimpanan variabel
misalnya biaya sewa gudang, biaya asuransi bahan, biaya administrasi gudang, biaya atas rusak dan usangnya bahan,
dan lain-lain biaya
penyimpanan variabel.
Dengan
demikian jumlah dari biaya penyimpanan
untuk perhitungan kuantiĆtas pembelian optimal ini akan terkait langsung dengan
jumlah unit bahan baku yang disimpan di dalam perusahaan yang bersangkutan
tersebut. Semakin besar bahan jumlah
unit bahan baku yang disimpan di dalam perusahaan, maka jumlah biaya
penyimpanan ini akan semakin tinggi apabila unit yang disimpan semakin besar
berapapun frekuensi pembelian dilaksanakan.
Beberapa contoh dari biaya penyimpanan ini antara lain biaya simpan
bahan, biaya asuransi bahan, biaya kerusakan bahan dalam penyimpanan, biaya
pemeliharaan bahan, biaya pengepakan kembali, biaya modal untuk investasi bahan, biaya
kerugian penyimpanan, biaya
sewa gudang per satuan unit bahan, serta resiko tidak terpakainya bahan karena
usang. Biaya-biaya lain yang terkait dengan jumlah bahan yang disimpan dalam
perusahaan yang bersangkutan (Ahyari, 1986,
hal. 262).
Menurut Supriyono, faktor
yang menentukan berapa kali dan berapa jumlah setiap kali pembelian bahan
adalah biaya pemesanan variabel dan
biaya penyimpanan variabel. Kedua macam
biaya ini meskipun kedua-duanya bersifat variabel mempunyai hubungan yang
berbanding terbalik, semakin tinggi frekuensi pemesanan akan berakibat biaya
pemesanan variabel yang semakin tinggi tetapi berakibat pada biaya penyimpanan
variabel yang semakin rendah karena rata-rata bahan yang disimpan semakin rendah,
semakin rendah frekuensi pemesanan berakibat biaya pemesanan variabel rendah
tetapi biaya penyimpanan variabel tinggi karena rata-rata bahan yang disimpan
semakin tinggi (Supriono, 1994, hal 391).
Agar pembelian bahan yang
sudah ditetapkan dalam EOQ tidak mengganggu kelancaran kegiatan produksi, maka
perlu ditentukan waktu pemesanan kembali atas bahan yang paling tepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemesanan
kembali adalah : (R.A Supriono, 1994, hal 397).
1. Waktu yang diperlukan dari saat
pemesanan sampai bahan datang di perusahaan (lead time). Lead
time ini akan mempengaruhi besarnya bahan yang dipakai selama lead time,
semakin lama lead time semakin besar
pula jumlah bahan yang diperlukan untuk pemakaian selama lead time.
2. Tingkat pemakaian bahan rata-rata
per hari atau satuan waktu lainnya.
Besarnya bahan yang diperlukan selama lead time adalah jumlah hari lead
time dikalikan tingkat pemakaian bahan rata-rata.
3. Persediaan penyelamat (safety stock). Persediaan besi bahan adalah jumlah
keterlambatan datangnya bahan yang dibeli agar perusahaan tidak mengalami “stock out” atau mengalami
gangguan
kelancaran kegiatan
produksi karena
habisnya bahan yang umumnya
menimbulkan elemen biaya stock out. Untuk menentukan besarnya persediaan besi
dapat dipakai metode statistik, atau metode penaksiran langsung.
Selanjutnya, Supriyono
merumuskan Re Order Point sebagai
berikut : (Supriono, 1999, hal 398).
ROP
= (LT x
AU) + SS
Dimana :
ROP : Re Order Point, menunjukkan tingkat
persediaan bahan dimana perusahaan
harus memesan bahan.
LT : Lead
time, tenggang waktu antara pemesanan sampai kedatangan bahan.
AU : Average
usage, pemakaian rata-rata dalam satuan waktu tertentu.
SS : Safety
stock, tingkat atau besarnya persediaan penyelamat.
Ada dua asumsi
yang digunakan dalam analisis ROP yaitu : (Alwi, 1984, hal. 93), yang pertama
yakni tingkat penggunaan persediaan selama lead
time adalah konstan dan yang kedua pesanan tiba pada saatnya.
Dua asumsi ini dalam prakteknya
sering tidak terpenuhi. Perusahaan
kadang kala menerima pesanan yang mendadak dalam jumlah besar sehingga
penggunaan material meningkat. Jika hal
ini terjadi selama lead time,
sedangkan persediaan ditangan tidak cukup untuk menanggulangi kenaikan
tersebut, perusahaan akan mengalami kehabisan persediaan. Begitu pula jika supplier mengalami kesulitan
dalam pengiriman pesanan, sehingga bahan yang dipesan diterima tidak tepat pada
waktunya. Oleh sebab itu safety stock sebagai persediaan ekstra
diperlukan untuk melindungi perusahaan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.
METODE PENELITIAN
Tempat
dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan pada outlet Pizza Hut Banjarmasin, yang beralamatkan di Jalan
Jendral A.Yani Km 3.5 No.218 Banjarmasin.
Sedangkan waktu yang diperlukan untuk penelitian ini dimulai dari bulan April
sampai Juli 2008, yaitu mulai dari
persiapan, pengumpulan data, pengolahan data sampai dengan tahapan penyusunan
laporan.
Data dan Sumber Data
Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara langsung dengan manajer, asisten manajer, shift leader ataupun
store keeper dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disediakan. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari
dinas dan instansi terkait yang ada relevansinya dengan penelitian ini, serta
literatur-literatur yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
Pembatasan Masalah
1. Data yang dianalisis hanya data untuk
periode satu tahun terakhir yaitu Januari 2007
sampai Desember 2007.
2. Jenis bahan baku utama
produk pizza yang dianalisis hanya bahan baku tepung yang merupakan bahan baku
untuk pembuatan adonan produk pizza.
Analisis Data
Data
yang terkumpul diolah secara tabulasi dan selanjutnya dianalisis. Untuk mengetahui tujuan pertama yakni
jumlah/kuantitas pemesanan bahan baku yang ekonomis adalah dengan menggunakan
analisis Economic Order Quantity
(EOQ) :
Dimana
:
EOQA : Jumlah/kuantitas pemesanan sayur yang
ekonomis setiap kali pesan
P : Biaya pemesanan bahan baku tepung setiap kali
pesan
R : Penggunaan bahan baku tepung selama satu
periode
C : Biaya penyimpanan bahan baku tepung per unit
Selanjutnya untuk mengetahui tujuan penelitian
yang kedua yakni menentukan saat pemesanan kembali (Re Order Point) sehingga bahan baku sayur selalu tersedia
di gudang, yang dapat dihitung dengan rumus :
ROPA =
(LT x AU)
+ SS
Dimana
:
ROPA
: Re Order Point, menunjukkan tingkat persediaan bahan
baku tepung dimana perusahaan harus memesan bahan baku tepung.
LT :
Lead time, tenggang waktu
antara pemesanan sampai kedatangan bahan
baku tepung.
AU :
Average usage, pemakaian rata-rata bahan
baku tepung dalam satuan waktu tertentu.
SS : Safety stock, tingkat atau besarnya
persediaan bahan baku tepung penyelamat.
Selanjutnya untuk mengetahui
tujuan yang ketiga mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi dalam
penyelenggaraan persediaan bahan baku utama produk pizza yaitu dengan analisis
deskriptif yaitu membuat pertanyaan-pertanyaan baik dalam bentuk kuesioner
maupun secara langsung bertanya kepada pihak outlet Pizza Hut Banjarmasin.
No comments:
Post a Comment